Selasa, 12 Oktober 2010

Chairil Anwar, Bekerja dan Berjuang untuk Pilihan Hidupnya Sebagai Sastrawan

Nama penyair Chairil Anwar adalah identik dengan kesusastraan Indonesia. Setiap orang Indonesia yang telah mengecap pendidikan formal pasti mengenal namanya. Ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar sangat dikenal sebagai sastrawan, khususnya penyair. Walaupun Chairil Anwar meninggal dalam usia yang relatif muda 27 tahun, tetapi melalui karya-karyanya ia membuktikan kata-kata dalam sajaknya, Sekali berarti setelah itu mati dan Aku mau hidup seribu tahun tahun lagi.

Chairil hadir pada situasi peralihan yang penuh gejolak. Sebuah transisi dari situasi terjajah menuju kemerdekaan. Penolakan terhadap kolonialisme dan pemikiran dunia yang muncul pada masa Perang Dunia II ikut membentuknya. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan wujud penolakan Chairil dan teman-temannya terhadap pengertian kebudayaan nasional sebagai kegiatan melap-lap kemudian lama yang lapuk. Kebudayaan menurut mereka adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir dari situasi zaman dan tepat.

Sastrawan ini menjadi sangat terkenal karena dua hal. Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Ahli sastra menyebut sastra jenis ini dengan istilah Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal itu dapat berupa tanggapan dari persoalan-persoalan besar di zaman itu. Beberapa karya Chairil Anwar yang termasuk sastra mimbar adalah Aku, Perjanjian Dengan Bung Karno, Catatan Tahun 1946 dan Kerawang Bekasi.

Kedua, ia juga menulis sajak-sajak yang menjadi bahan perenungan yang temanya lebih kepada persoalan-persoalan keseharian. Ahli sastra menyebutnya Sastra Kamar. Karya Chairil yang digolongkan kedalam jenis ini adalah Senja di pelabuhan, Derai-Derai Cemara, Penghidupan. Pengolahan bahasa sajak-sajak Chairil sangat khas dan spesifik.

Ia telah membuka kemungkinan yang sangat tak terduga. Ia membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan dan kelincahan yang mengagumkan kepada sastra Indonesia. Sampai saat ini masih terasa pengaruh bahasa sajak Chairil ikut membawa warna perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Chairil mampu melepaskan bahasa dari lingkungan kaidah baku bahasa, yang mungkin secara tata bahasa menyalahi aturan, tetapi sebagai sarana ekspresi sangat fungsional dan indah. Begitu kuatnya pengaruh Chairil di dalam mengolah pengucapan bahasa sajak, menyebabkan penyair-penyair sesudahnya meneladani cara pengolahan bahasa sajaknya

Chairil tidak setengah-setangah dalam menggeluti dan menjalani prisnsip hidupnya. Ia dapat mengungkap sesuatu persoalan dengan luas karena pengalaman dan perjalanan hidupnya yang luas pula. Ia juga seorang yang sangat gemar membaca. Apalagi kegemarannya ditunjang oleh kemampuannya berbahasa asing seperti Jerman, Belanda dan Inggris dengan baik. Melalui penguasaan bahasa itulah ia memperoleh informasi dari pihak pertama.

Dunia kesusastraan sebagai pilihan hidupnya dijalaninya dengan sangat bersungguh-sungguh. Ia pun bekerja habis-habisan untuk mengolah pilihan hidupnya itu dan ia berhasil, meskipun ia tidak sempat menyaksikan bahwa ia benar-benar berhasil menggeluti pilihan hidupnya itu karena ajal lebih dahulu menjemputnya.

Banyak orang mengira bahwa Chairil adalah petualang kumuh. Tetapi salah seorang sahabatnya, Asrul sani membantahnya. Chairil selalu berpakaian rapi, meskipun ia seorang bohemian. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya seantiasa disetrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Chairil memang telah menjadi legenda sastra Indonesia.

Chairil Anwar memang besar karena kesungguhannya bekerja dan memperjuangkan pilihan hidupnya. Semangat inilah yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda. (dns)

Selasa, 16 Maret 2010

Peranan Konsep Hermeneutika

Bahasa memberi suatu sarana bagi penulis, kritikus dan penikmat sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan yang lebih bermakna bagi kehidupan. Penikmatan terhadap karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya dapat dimulai dengan memahami bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Interpretasi ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai hermeneutika. Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).

Atas dasar itu, sebuah penelitian bidang sastra mutlak menggunakan metode hermeneutik, karena kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra pada awal dan akhirnya harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan para kaum akademisi yang mengkaji bidang sastra. Ada suatu kasus di sebuah universitas swasta, seorang mahasiswa fakultas bahasa dan sastra, jurusan indonesia yang sedang menyusun skripsi dibuat bingung oleh pembimbingnya, mahasiswa tersebut mengkaji puisi dalam skripsinya yang mutlak menggunakan metode hermeneutik, pembimbingnya menyarankan agar hermeneutik tidak dipakai, dengan alasan agar tidak tumpang-tindih dengan teori (strukturalisme genetik, teori ini merupakan pendekatan yang mengelaborasi faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam penelitian suatu karya sastra dengan medium visi dunia dari pengarang) yang dipakai, sampai pada akhirnya pada sidang skripsi, tim penguji menanyakan alasan penulis skripsi tidak menggunakan metode tersebut, karena pembahasan yang dikemukakan sangat bertalian dengan metode hermeneutik. Menurut Dr. Wahyu Wibowo, seorang ahli Filsafat Bahasa Biasa, hermeneutik bila dipakai sebagai metode tidak akan bertolak belakang dengan teori yang dipakai dalam kajian sastra. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai.

Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai (Eagleton, 1983: 66).
Hermeneutik umumnya dikenal secara luas sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya. Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam (Eagleton, 1983: 68).
Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa. Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan (Eagleton, 1983: 70).

Anatomi Puisi

Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, Prof. M. Atar Semi (1993) memberikan deskripsi tersebut karena puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan suatu pernyataan seni sastra yang paling baku dalam dunia kesusastraan. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi Indonesia modern. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh hakekat puisi yang merupakan inti pernyataan yang padat itu sebagai bentuk fakta kemanusiaan dalam proses asimilasi dan akomodasi itulah karya sastra sebagai fakta kemanusiaan memperoleh artinya. Proses tersebut sekaligus merupakan genesis dari struktur karya sastra. Dalam penggunaannya tidak hanya terbatas pada penyebaran dan penerimaan karya sastra, tetapi juga menyangkut terhadap penciptaan, dan diintegrasikan dalam analisis positif yang didasarkan pada prinsisp-prinsip perubahan dan perkembangan.

Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik definisi itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Pengertian atau batasan tentang puisi itu tidak hanya diperlukan oleh para ahli teori sastra, guru sastra, para akademisi yang sedang mendalami ilmu dan apresiasi sastra, tetapi juga bagi para penulis dan penyair. Bagi para ahli sastra, guru, dan akademisi, pengertian atau batasan puisi itu kegunaannya amatlah jelas, yaitu untuk landasan atau titik tolak kajian dan pemahaman puisi. Bagi para penyair, hal itu berharga karena akan membantu mereka dalam berkarya, dalam menentukan apakah karya mereka mencapai mutu puitik yang tinggi atau hanya menghasilkan suatu puisi yang tidak jelas struktur dan tujuannya. Walaupun mereka (penyair) tidak mesti memiliki definisi yang sama dengan definisi sendiri tentang hakikat puisi ciptaannya. Bahwa puisi itu memiliki makna yang luas dan beragam tidak dapat dipungkiri.

Beberapa ahli yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet mulyana (1956) memberi batasan puisi dengan menggunakan pendekatan psikolinguistik, karena puisi merupakan karya seni yang tidak saja berhubungan dengan masalah bahasa tetapi juga berhubungan dengan masalah jiwa.

Ada pula yang menggunakan pendekatan struktural seperti William Worsworth, yang merumuskan pengertian puisi: Poetry is the best words in the best order; artinya adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Adapula yang menggunakan pendekatan emotif seperti Leigh Hunt yang mengatakan Poetry is imaginative passion; puisi merupakan luapan gelora perasaaan yang bersifat imajinatif.

A. Unsur-unsur yang Membentuk Puisi
Dalam pembentukannya puisi terbagi menjadi tiga unsur, yakni:
1. Intuisi
Intuisi adalah satu daya atau kemampuan melihat suatu kebenaran atau kenyataan tanpa pengalaman langsung atau dibantu oleh suatu proses logika. Untuk lebih menjelaskan pengertian intuisi ini dalam kaitan dengan penciptaan puisi, marilah kita menukikkan perhatian pada karya puisi itu agar pembicaraan tidak meluas ke arah hal-hal yang terlalu filosofis.

Prof. M. Atar Semi (1993) menyatakan bahwa sebuah puisi dapat diumpamakan sebagai suatu pernyataan yang menyenangkan, yang muncul dari suatu kemampuan penyairnya melihat sesuatu secara antusias dengan jurus yang tepat. Penyair mempertimbangkan secara masak apa yang dilihatnya kemudian mengungkapkan hasil penglihatannya tanpa terlalu berkecenderungan untuk mempermasalahkannya. Pada dasarnya, intuisi itu lebih banyak merupakan hasil kumpulan latihan berpikir yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan begitu, sesuatu dapat dilihat atau diamati dengan cara tertentu dengan menggunakan indera keenam, yaitu perasaan. Oleh sebab itu pula puisi jarang sekali menggunakan persepsi intelektual. Intuisi politik merupakan salah satu bagian dari imajinasi yang lebih banyak berakar pada daya angan daripada dalam konsep. Oleh sebab itu pada sebuah kata yang digunakan dalam puisi tidak dapat diberi batasan secara denotatif tetapi lebih menyatakan beberapa macam kemungkinan pengertian.

Bila kita berbicara mengenai intuisi dalam puisi berarti kita juga berbicara tentang pancaran kebenaran yang dapat diterima secara universal. Hal ini disebabkan kehadiran intuisi di dalamnya, yang dapat menyebabkan kita dapat mengatakan bahwa puisi yang baik tidaklah mesti menyampaikan sesuatu yang asing atau aneh tetapi hanya memperlihatkan kepada kita sesuatu yang sebenarnya sudah kita ketahui. Hal ini lebih menjelaskan dan meyakinkan kita bahwa mengapa banyak orang yang menyenangi puisi karena ia menyampaikan sesuatu yang besar dan hebat dengan cara yang mudah dan sederhana.

Jadi, intuisi adalah suatu ketajaman kata hati atau bisikan kalbu dalam menangkap isyarat-isyarat alam atau peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh makna.

2. Imajinasi
Imajinasi merupakan segi kedua yang membedakan puisi dengan prosa. Dalam puisi pengalaman jiwa itu diwujudkan ke dalam bentuk kata-kata. Makin dekat dan makin lengkap perwujudan angan itu maka semakin tinggi mutu puisi tersebut. Di samping itu, bertambah lengkap dan dalam pengalaman jiwa itu bertambah tinggi pula mutu karya tersebut.

Harus diakui apa yang dikatakan oleh Prof. M. Atar Semi (1993) bahwa angan itu tidak sama tepatnya dengan isi ujaran dalam kata. Karena angan itu bersifat abstrak maka ia hanya dapat diketahui wujud kongkritnya oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan melahirkannya ke dalam bentuk tanda --- dalam hal ini bahasa --- angan itu dapat diketahui oleh orang lain. Tetapi tanda itu sendiri tidak persis sama dengan yang ditandainya. Dekatnya hubungan antara sesuatu yang dikhayalkan dengan kongkritisasinya bergantung kepada kemampuan pengarang mengkongkritkan apa yang dirasakannya pada saat membuat puisi. Mengkongkritkan apa yang dikhayalkan itulah yang dinamakan imajinasi. Bila seseorang sedang mengimajinasikan sesuatu berarti ia sedang memberi bentuk terhadap apa yang dikhayalkan atau dirasakannya. Di dalam penciptaan puisi terjadilah imajinasi. Suatu pengkongkritan angan, sehingga isi dan bentuk sama-sama kongkrit. Isi dibaurkan dengan bentuk merupakan hasil pengkongkritan angan. Bentuk itu sendiri baru mempunyai arti bila sudah diisi dengan pengertian. Setiap perubahan yang terjadi pada angan atau khayal betapapun kecilnya akan memberi perubahan bentuk karena keduanya saling mempengaruhi. Daya imajinasi dalam karya puisi pada hakikatnya tidak kelihatan, karena ia terpendam dalam kesadaran orang masing-masing yang dapat dilihat dan dibicarakan adalah suatu yang muncul ke permukaan sebagai penjelmaan pengalaman jiwa yang dapat diamati dalam bentuk kata-kata yang digunakan sebagai lambang atau simbol.

Jadi, dengan uraian di atas jelas bahwa kata-kata yang digunakan sebagai alat pengungkapan angan dapat memberikan konotasi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Konotasi itu mungkin saja bisa sama bila penyair mampu memilih secara cermat simbol-simbol yang digunakan sebagai alat untuk mengkongkritkan sesuatu yang abstrak, yang berada di dalam pikiran dan perasaannya. Kata “bunga” dapat menimbulkan tafsiran yang luas dan macam-macam, namun setelah kata itu ditambah dengan kata lain seperti “bunga bangsa” maka pengertian yang dituntutnya menjadi lebih jelas dan terjurus.

3. Sintesis
Menurut Toeti Heraty (2000) sintesis merupakan unsur ketiga dalm pembentukan puisi. Sintesis berarti suatu kesatuan, suatu gabungan atau ikatan yang merupakan lawan dari analisis yang berarti terurai, yang terlihat unsur-unsur yang membentuk keseluruhan. Puisi dapat dikatakan sebagai suatu proses terpadu, sedangkan proses merupakan suatu kontruksi yang tersusun dari langkah demi langkah. Puisi merupakan suatu yang terpusat.

Suatu karakteristik dari kesintesisan puisi adalah pernyataan yang disampaikan bersifat unik, ia tidak langsung mengacu kepada sesuatu yang diungkapkannya, tetapi dapat mengandung pengertian yang luas atau pengertian yang berganda.

Dapat disimpulkan bahwa karangan puisi bersifat pemusatan atau konsentratif, karena bentuknya yang memusatkan pelukisannya pada hal-hal yang pokok saja. Bahasa yang digunakan dalam karya puisi bersifat konotatif, ia senantiasa memberikan implikasi lain dari apa yang sering dipahami mengenai kata-kata tersebut. Seringkali kata-kata yang digunakan dalam puisi sebagai kata-kata bersayap yang disebabkan kata-kata tersebut mengemban arti yang lebih luas, lebih dari satu.

Di samping itu, kemungkinan arti yang dipancarkan oleh bahasa puisi itu berkaitan erat dengan perasaan dan pikiran penyair. Tidak semua penyair yang menggunakan kata-kata yang sama mempunyai maksud yang serupa. Misalnya kata “bulan” yang digunakan dalam puisi yang lain.

Bahasa puisi meninggalkan kesan rasa dan daya tanggap yang tinggi oleh pembacanya. Untuk itu ia memerlukan kehalusan penglihatan dan pendengaran (visual and auditory) karena memang puisi itu merupakan suatu sintesis dari sesuatu yang luas dan dalam. Tiga unsur yang mendominasi puisi, yaitu intuisi, imajinasi, dan sintesis.

B. Unsur-unsur yang Membangun Puisi
Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau memberikan perhatian kita terhadapnya maka kita biasanya akan mendapatkan sesuatu dari puisi tersebut, mungkin berupa pengetahuan, kesan, atau berupa apa saja. Namun apa yang kita terima dan rasakan itu tidak dapat kita analisis disebabkan hal itu muncul hanya dalam puisi itu secara bulat dan utuh. Walaupun kita dapat menangkap beberapa hal secara sekaligus dari suatu puisi, namun kita dapat menjelaskannya secara sekaligus.

Sungguhpun amat sukar membeda-bedakan unsur-unsur yang membangun sebuah puisi, namun di dalam kesukaran itu kita memperoleh juga banyak manfaat sebagai bahan diskusi. Bentuk puisi itu umumnya lebih jelas dibandingkan dengan bentuk prosa, karena puisi merupakan bentuk karya sastra yang indah dan sekaligus pula sebagai bentuk sastra yang tertua.

Marjorie Boulton (1979) membagi anatomi puisi atas dua bagian, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Namun Boulton mengaku bahwa adalah tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kita harus membicarakan bentuk fisik dan bentuk mental sebuah puisi maka dalam pembicaraan tidak dapat dilihat pertalian satu sama lain.

Bentuk puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan larik puisi; termasuk ke dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan mental, terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya.

Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan Bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi.
2. Lapisan arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa.
3. Lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.

Ketiga lapisan itu saling bertautan, lapisan bunyi menimbulkan lapisan arti, lapisan arti menimbulkan lapisan tema. Bila lapisan bunyi yang merupakan lapisan permukaan tidak ada, atau katakanlah berantakan, sedangkan lapisan arti tidak ada pula, maka dengan sendirinya lapisan tema pun tidak ada, malahan puisi itu sendiri tidak pernah ada, atau kalaupun ada, tidak dapat dikatakan sebagai sebagai sebuah puisi. Oleh sebab itu lapisan pertama yang berupa lapisan bunyi sebuah puisi amat penting; lapisan pertama itu betapapun baiknya tidak akan menimbulkan suatu totalitas yang baik dan sempurna, manakala lapisan pertama itu tidak mampu melahirkan lapisan kedua dan ketiga yang baik. Dengan kata lain, sebuah puisi itu merupakan suatu totalitas.

Sebagai sebuah totalitas amatlah sukar membicarakan unsur-unsurnya satu persatu, tanpa memperlihatkan kaitan satu sama lain. Tetapi untuk kepentingan akademis, bukan kepentingan apresiasif atau efektif, pembicaraan unsur-unsur itu dilakukan untuk melihat dan mengetahui anatomi puisi itu satu persatu, bagian demi bagian, dalam rangka menambahkan pemahaman dalam melihatnya sebagai suatu keseluruhan.

Jumat, 05 Maret 2010

Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya: melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Sosiologi sastra merupakan telaah sastra yang berpusat pada persoalan hubungan antara karya sastra dengan pengarang, pengarang dengan pembaca, pembaca dengan karya, dan karya dengan kenyataan sosial. Pokok dari pembahasan yang akan dibahas dari novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya adalah melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Teori mimetic adalah teori sastra yang menonjolkan aspek acuan atau refrensial dalam menelaah karya sastra. Teori ini berpandangan pada karya sastra yang dianggap sebagai tiruan / penggambaran kenyataan hidup manusia.
Burung-Burung Manyar adalah karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang akrab disapa Romo Mangun seperti memasuki dunia revolusi Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950 yang penuh dengan konflik antara orang Indonesia sendiri dengan Belanda termasuk juga pertentangan dengan orang Indonesia yang anti Republik. Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar, dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering "mendengar" keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Hibriditas Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar, merupakan pernyataan politik Mangunwijaya dan sumbangan pemikirannya terhadap kondisi "pasca-Indonesia" yang amat heterogen.
Novel setebal 261 halaman tersebut berisi perjalanan hidup seorang lelaki bernama Setadewa yang peranakan Belanda-Jawa dan jatuh cinta pada teman sepermainannya masa kecil, seorang perempuan Indonesia asli dari kota Bogor bernama Larasati. Latar sejarah Indonesia pada tahun 1934-1944, kemudian tahun 1945-1950 dan tahun 1968-1978 menjiwai seluruh roman yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara obyektif bahkan cenderung lebih dari sisi Belanda. Novel ini juga berusaha menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan dari pribadi-pribadi yang memiliki idealisme berbeda terutama dalam hubungannya dengan pengertian nasionalisme pada konteks Indonesia saat itu.
“Burung Burung Manyar” adalah karya Y.B. Mangunwijaya atau banyak yang menyebut sebagai Romo Mangun. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru.

Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Roma Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa –meski berseberangan– hingga di akhir cerita, yakni tokoh penting bernama Larasati.

Kemudian dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan sangat berlawanan.
Dalam penulisan ini tidak akan mengungkap secara gamblang bagaimana cerita maupun kupasan mendalam mengenai perjalanan roman yang dimulai dari pertama hingga periode ketiga. Akan tetapi penulis mencoba menganalisa sudut terkecil dari kehidupan tokoh-tokoh yang ada dalam roman “Burung Burung Manyar” karya Romo Mangun.
Roman ini secara realitas bisa mengungkapkan mengenai banyak hal kehidupan dalam perjalanan dari awal hingga periode ketiga. Banyak hal yang diungkap; mulai kehidupan batin hidup zaman Jepang–termasuk didalamnya keadaan tak menentu zaman Jepang. Kemudian mengungkap juga moralitas kaum pejuang Republik Indonesia, dan yang akan dikupas dalam analisis kali ini berupa kehidupan batin orang yang hidup sebagai gundik orang-orang Jepang.

Gundik
Gundik, banyak yang menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Artinya, perempuan ini hanya sebagai the second women atau istilah yang fenomental sekarang disebut dengan Wanita Idalam lain (WIL) setelah ada istri utama.
Kalau raja-raja Jawa dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Ada semacam perasaan tabu manakala seorang raja hanya mempunyai satu istri utama. Kenapa? Karena ada pemahaman yang dinamakan ‘lanang temenan’ kalau sudah bisa mempunyai Turonggo–simbol laki-laki–sudah bisa mencapai tahta dan mempunyai banyak wanita.

Maka untuk kalangan raja-raja jaman dulu sudah bukan hal yang tabu kalau mempunyai perempuan sampai lebih dari tiga. Inilah yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan melanggengkan kerajaannya.
Bahkan cerita-cerita dari India Utara pun dalam tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna mempunyai lebih dari satu istri, mulai dari Wara Srikandhi, Gandawati, Dewi Ulupi, Dyah Manuhara dan Sembodro.

Adanya laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.
Bahkan beberapa waktu yang lalu di Sumatra akibat ulah seorang datuk–banyak yang menyebut sebagai Datuk Maringgih–42 perempuan meninggal hanya sebagai tumbal kesaktian ilmu hitam (murder magic). Itu semua merupakan ilustrasi ketidakberdayaan menghadapi superior laki-laki.

Pembangkangan Terselubung
Dalam roman “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangun diilustrasikan bagaimana terjepitnya posisi perempuan saat menghadapi para tentara Jepang waktu itu. Bagaimana Romo Mangun menceritakan liciknya perwira-perwira Jepang menawan wanita istri tentara Belanda yang berhasil ditangkap Jepang. Lihat kutipan di bawah ini:
“Suami tante Pauline (dulu) sersan KNIL Totok yang ditawan di Burma. Dan kini tante Pauline menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Pauline, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga … (BBM: 26).

Ilustrasi di atas, kiranya tidak hanya wanita Jawa saja yang mengenal adanya gundik. Seperti halnya tulisan di atas, tante Pauline yang sebelumnya sebagai istri sersan KNIL-Belanda, akibat masuknya Jepang di Indonesia, maka wanita Belanda pun menjadi korban menjadi gundik para perwira Jepang.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan saat itu wanita harus menjalani kehidupannya sebagai gundik. Paling tidak dalam alam kehidupan Burung Burung Manyar. Pertama, seseorang (wanita) ingin hidup layak pada zaman yang sulit, dan demi menyambung hidup. Kemudian yang kedua, karena kesetiaan pada suami atau saudaranya agar tidak dibunuh oleh para perwira Jepang maka dengan keterpaksaan mereka memilih menjadi gundik Jepang. Seperti digambarkan oleh tokoh Marice (ibu Teto).

“Pokoknya mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpetai yang berwewenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang terakhir. Dan mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf … (BBM: 34).

Dari kutipan di atas tampak pada zaman itu memang nyata ada kehidupan wanita-wanita yang dijadikan gundik Jepang. Seorang wanita sampai menjadi gundik tentara Jepang, secara naluri sebenarnya tidak menginginkan akan perbuatan untuk menjadi gundik. Hanya karena keterpakasaan semua itu dijalani.

Ini sama dengan konsep Jawa yang “Inggih-inggih ora kepanggih” atau pembangkangan terselubung oleh wanita saat menjadi gundik perwira Jepang. Faktor keluarga merupakan hal yang penting untuk diselamatkan meski harus menjadi gundik yang notabene secara emosi nalurinya mengatakan tidak menginginkan. Karena posisi yang lemah dan ditambah ultimatum menjadikan lebih terjepitlah posisi wanita. Meski dalam hatinya–dalam konsep Jawa–mengatakan semua yang dijalaninya untuk menuruti kemauan perwira Belanda itu hanya sekedar ucapan Inggih-inggih ora kepanggih tadi.

Burung-Burung Manyar & Pergeseran Kekuasaan
Burung-Burung Manyar. Roman yang menceritakan Setadewa alias Teto dari zaman penjajahan Jepang hingga masa awal-awal Indonesia merdeka, sampai masa pembangunan. Bagian yang paling menarik adalah bagian III, bab 18, “Aula Hikmah”, saat Atik sedang menjalani sidang doktoralnya. Atik, kekasih lama dan sejati Teto (protagonista pria, anak Indo yang membela Belanda, membenci jepang, dan sebenarnya masih mencintai Indonesia) dalam sidangnya itu menjelaskan tentang burung manyar (dengan perubahan ):…perilaku yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki. Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan, mereka mulai membangun sarang, yang sangat rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. Manyar-manyar putri hanya melihat saja dengan enak-enak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan manyar-manyar lelaki.

Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu menaksir hasil pembangunan para jantn itu, mempertimbangkan sejenak, dan memilih yang…berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih. Alangkah sedihnya yang tak dipilih.

Apa yang dilakukan manyar lelaki yang sial sekali tak dipilih itu? Catat: mereka frustasi, mereka membongkar menghancurkan sarang yang tadi dibangun susah payah, hingga berkeping-keping di tanah. Dramatis dan tragis.

Setelah itu? Manyar-manyar lelaki selesai berputus asa, bangkit mengumpulkan alang-alang lagi, membangun sarang indah kembali dengan sebuah harapan yang bangkit hidup: semoga kali ini ada putri yang memilihnya…

Dimanapun dalam level kehidupan manapun: women rules! Para lelaki, mengajukan diri, toh akhirnya yang berkuasa adalah tuan putri. Tapi benarkah yang berkuasa hanya tuan putri saja? Saya membayangkan burung manyar lagi, saat manyar perempuan telah memilih sarang pejantannya. Kira-kira apa yang akan terjadi ya? Perkiraan saya (semoga ada ahli burung yang dapat mengkonfirmasi) seperti ini: Manyar lelaki akan merasa bahagia, sekaligus menerima kekuasaan dari manyar putri. Sekarang, ia yang berkuasa, karena ia yang membangun rumah perlindungan tempat dimana manyar putri mengharap perlindungan.

Kapan manyar putri berkuasa lagi? Saat mereka harus bertelur. Hanya manyar putri, yang secara tak sadar dan alamiah, menentukan bisa bertelur atau tidak. Itu kekuasaan alamiah dan tanpa sadar, yang ditentukan oleh ‘rahim’ si manyar putri.

Hubungan kekuasaan ini terus berlanjut, secara adil, saling mengisi, dan akhirnya…harmonis. Allah telah menciptakan alam ini dengan perhitungan, dengan adil. Mungkin itu juga yang tersirat dalam fenomena ini: ketika pria dan wanita menikah, kebanyakan nama-nama yang menikah disebut dengan urutan nama mempelai wanita-nama mempelai pria.

Namun, karena rumah (rumah tangga?) yang digunakan para putri tetaplah milik para jantan, maka “Ar-Rijaalu qawwamunna alan Nisaa”, laki-laki adalah qawwam perempuan. Qawwam bukanlah penguasa, apalagi tiran yang dapat berbuat seenaknya kepada para perempuan. Bukan pula sejenis pemimpin zalim. Ia adalah “yang menegakkan”, yang melindungi. Para pembuat dan pemilik sarang…

Dalam roman ini pula, Romo Mangun secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. BBM terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang kita kala itu gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang—terutama pada masa kependudukan Jepang, di mana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang.

Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah merengkuh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Romo Mangun begitu piawai menuliskannya.

Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Nica. Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan ‘lawannya’ meski dalam hati kecil mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.

Dalam novel ini menandakan manusia harus berpegang teguh terhadap pendirian masing-masing juga menghormati pilihan orang lain walaupun dalam suatu ikatan yang kuat.

PANDANGAN DUNIA CHAIRIL ANWAR: KRITIK KEHIDUPAN DALAM PUISI AKU

Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan pernyataan seni sastra yang paling baku. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Sehingga dari dahulu hingga sekarang puisi selalu diciptakan orang dan selalu dibaca, dideklamasikan untuk lebih merasakan kenikmatan seninya dan nilai kejiwaannya yang tinggi. Karya sastra puisi digemari oleh semua aspek masyarakat, karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi Indonesia modern.

Puisi “Aku” mencerminkan pandangan dunia pengarangnya tentang masyarakat pada zamannya yang ingin bebas dari penjajahan dan mampu menjadi penggugah semangat sebagai senjata ampuh dalam mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Pandangan pengarang merupakan dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial, dokumen sosial dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial, dan penelusuran tipe-tipe sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan puisi “Aku” karya Chairil Anwar diantaranya, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia.

Batasan masalah hanya pada lapis pandang dunia saja yaitu, pandangan Chairil anwar sebagai pengarang terhadap keadaan sosial yang ada pada saat karyanya lahir, sehingga ia dapat menggambarkan keadaan yang tertuang dalam karya tersebut, pandangan puisi “Aku” sebagai karya yang terbentuk pada masanya yang merupakan dokumen sebagai potret kenyataan sosial, uraian ikhtisar sejarah, dan penelusuran tipe-tipe sosial, pandangan masyarakat atau ideologinya terhadap karya yang mewakili kehidupan mereka sebagai cerminan keadaan sosial yang tergambar pada karya tersebut.

Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap aturan-aturan para penindas yang sewenang-wenang terhadap rakyat, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu. Yang penting , memberikan sesuatu yang berguna bagi kehidupan ini daripada tidak sama sekali.

Sajak “Aku” inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial).

Fakta sosial yang terkandung dalam Puisi “Aku” karya Chairil Anwar masih relevan dengan keadaan dunia dan Indonesia pada khususnya, semangat perjuangan untuk mendapatkan perubahan dari keadaan yang tertindas dan ketidakadilan ke keadaan di mana masyarakat mendapatkan semua itu.

Ia memang besar karena kesungguhannya bekerja dan memperjuangkan pilihan hidupnya. Semangat inilah yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda. Karena itu generasi muda Indonesia harus tergugah dengan Puisi “aku” dan Chairil Anwar, pemuda itu selalu membutuhkan keteladanan. Kenapa harus mereka? Karena generasi muda adalah pewaris, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai sumber insani bagi pembangunan nasional, ibarat mata rantai yang tergerai panjang, posisi generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling sentral dalam artian bahwa, pemuda berperan sebagai pelestari nilai budaya, kejuangan, pelopor dan perintis pembaruan melalui karsa, karya dan dedikasi. Selain itu pemuda juga mempunyai peran dalam menggerakkan pembangunan sekaligus menjadi pelaku aktif dalam proses pembangunan nasional serta berperan dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, pemuda sebagai bagian integral dari warga negara sangat berperan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga sudah seharusnya generasi muda memiliki semangat yang tinggi, karena generasi muda sebagai motor penggerak harus mampu menciptakan inovasi dan kreatifitas yang kondusif dalam masyarakat.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya memberikan pandangan terhadap keadaan sosial yang ada pada saat karyanya lahir, sehingga ia dapat menggambarkan keadaan yang tertuang dalam karya tersebut sekaligus memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.









DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Chairil. 1981. Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Budiman, Arief . 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Calzoum Bahri, Sutardji. 1984. O Amuk Kapak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes (diterjemahkan dari Barthes: A Very Short Introduction oleh Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Djoko Pradopo, Rakhmat. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees.
Djoko Pradopo, Rachmat. 1985. Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djoko Damono, Sapardi. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djaya , Sjuman. 2003. Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Charil Anwar. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia.
Endriswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Eneste, Panusuk. 2007. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Eneste, Panusuk. 1995. Mengenal Chairil Anwar. Jakarta: Obor.
Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Foulcher, Keith. 1993. Angkatan ‘45: Sastra, Politik Kebudayaan, dan Revolulsi Indonesia. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.
Herman, J. Waluyo. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Hakim, Zaenal. 1996. Edisi kritis puisi Chairil Anwar. Jakarta: Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta: Gramedia.
Jassin, H.B. 1983. Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya. Jakarta: Gunung Agung.
Jabrohim (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Junus, Husain. 1984. Gaya bahasa Chairil Anwar. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Lefevere, A. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition. Amsterdam: Van Gorcum, Assen.
Madison, G.B. 1988. The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme (diterjemahkan dari Le Structuralisme oleh Hermoyo). Jakarta: Obor Indonesia.
Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Semi, Atar. 1998. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Valdes, M.J. 1987. Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature. London: University of Toronto Press.
Wellek, Rene dan Warren. 1989. Teori Kesusastraan (penerjemah Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Membaca Ayu Utami: Perempuan yang Mempersetankan Perkawinan Oleh: Dadan Suhendra

Sastra yang baik, senantiasa eksis. Saat dibaca ulang, juga dicetak ulang, maka kehadirannya tetap sebagai penanda. Persoalan yang diangkat di dalam karya sastra itu juga tetap ada, berkaitan dengan saat ini. Seperti novel Saman karya Ayu Utami sebagai pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 1998 (yang membuat heboh karena berbicara perilaku seksual perempuan dengan ekplisit).

Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam kedua novel itu mempersetankan lembaga perkawinan dan itu sah saja. Dalam novel tersebut, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya.

Saman, yang bernama asli Athanasius Wisanggeni, seorang pastor muda yang baru saja ditahbiskan. Wis kecil mengalami banyak kenyataan pahit. Kematian yang dialami ketiga adiknya, secara misterius dan sulit dipahami. Luka batin yang menderanya hingga akhir.

Sepanjang malam Sudoyo mendekap istrinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan jenasah, tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam. In parasidum deducant te angeli.

Perkenalannya dengan Upi, seorang anak perempuan gila, dan Anson abang Upi di kota minyak Perabumulih tempat dia ditugaskan, adalah awal dari perjalanan kisah ini. Wis menemukan banyak ketidakadilan pemerintah terhadap para transmigran disana.

Wis duduk di antara mereka dengan gelisah. Ia telah mencatat cukup banyak. Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan, pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang. Namun belakangan ini harga karet turun sehingga yang mereka terima kadang tak sampai lima retus perak per kilo getah cair. Mereka memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan dating sambil mengutangi beras serta kebutuhan tani.

Pemerintah pusat, dengan kekuasaannya yang dikekalkan, menghirup darah segar rakyat sendiri, mencabik kemerdekaan, merampas keluguan dan memasungnya dalam sel-sel penuh tahi, birokrasi!

Wis membela kemerdekaan rakyat di lokasi tersebut, karena pemerintah memaksa mengganti lahan karet mereka dengan kelapa sawit, dengan ancaman. Hingga keadaan semakin tak terkendali. Perkampungan dibakar, Wis diculik, disekap, dan diinterogasi (khas represifnya orde baru). Hingga akhirnya Anson dan kawan-kawannya membebaskan dia. Sejak saat itu, Wis menjadi orang yang paling dicari oleh pemerintah.

Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel menyebut-nyebut aktor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri.

Untuk menghindari diri dari fitnahan pemerintah, Wis mengganti identitasnya dan memilih Saman sebagai namanya yang baru. Saat itulah dimulai perlawanannya terhadap pemerintah, kegelisahannya, pemaknaannya pada nilai-nilai baru, petualangannya, hingga pertemuannya dengan teman-teman baru, yang semuanya itu menjadi faktor pendukung perjuangannya sampai akhir.

Para tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Dalam wawancara dengan sebuah majalah, Ayu Utami mengakui bahwa tema novel Saman adalah mengenai seksualitas. Ia pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan. Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil.

Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu (petting) dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya. Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur. Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.

Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA (kini SMU) sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.

Ayu Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan sadar menggerogoti rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan heteroseks. Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena, perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang.

Saya membacanya demikian: bahkan terhadap seorang perempuan yang sudah menikah atau melangsungkan perkawinan pun Ayu mencederainya. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Ayu. Saman bertugas menyembunyikan dan melarikan tiga aktivis yang dikejar-kejar aparat keamanan karena tersangkut kasus 27 Juli 1996. Namun, gagal melarikan ketiga aktivis itu ke luar negeri. Dalam novel Ayu, laki-laki “baik-baik” pun dimatikan. Bagaimana kita menyikapi Saman? Dalam berbagai kesempatan, Ayu Utami sering mengeluarkan pernyataan (gagasannya) yang menyatakan bahwa dirinya tidak menyetujui adanya lembaga perkawinan, dan cenderung memilih untuk melakoni kehidupan tanpa peraturan mengenai seks. Dengan kata lain, tidak menolak kebebasan seksual.

Sedikit banyak, hal ini menjadi semacam kredo bagi Ayu Utami dalam berkarya. Saya sangat yakin bahwa karya-karya Ayu Utami tidak akan lari jauh dari persoalan seksual, anti-perkawinan, emoh-keperawanan, dan sejenisnya. Kalaupun ada karya-karyanya yang mengangkat persoalan di luar seks, maka butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa mewujudkannya. Kalau kita merunut kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dan karya-karya awalnya pada 1974, maka akan kita dapati korelasi seperti itu. Dan, jarak antara lahirnya kredo puisi SCB dengan sajak “Tanah Airmata” yang dahsyat itu, yang diciptakannya menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, demikian panjangnya. Saya sependapat dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan memilih dan mengolah kata (diksi) yang demikian cemerlang, atau kata-katanya bercahaya seperti kristal, sebagaimana yang dikatakan Ignas Kleden. Tapi, bahasa yang canggih itu digunakan untuk mengemas sebuah gagasan besar yang merontokkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Bahasa dapat menutupi pikiran-pikiran, kata pepatah Prancis. Dan, memang, daya ungkap Ayu Utami memang luar biasa, sehingga pembaca dibuat terpukau dan terkejut sekaligus.

Saya sangat yakin bahwa Saman tidak dimaksudkan Ayu Utami sebagai karya klangenan, apalagi dalam kedua novel tersebut Ayu juga menyinggung kasus kerusuhan rasial di Medan, kasus G30S, pembantaian pasca-G30S terhadap orang-orang yang diduga sebagai PKI, peristiwa 27 Juli 1996, dan beberapa peristiwa sosial politik di tanah air. Ada gagasan besar yang hendak disampaikannya, yakni mendobrak budaya patriarkal. Dalam hal ini, ia ingin membebaskan “kelamin” kemana suka. Sayangnya, Sapardi tidak sampai memberikan penilaian apakah nilai-nilai dalam kedua novel itu bisa dibenarkan atau tidak, memiliki nilai kepantasan di masyarakat kita atau tidak. Inilah yang membuat sebagian pembaca novel Ayu Utami merasa terkejut dengan penanaman nilai seperti ini.

Konsep humanisme universal yang memegang teguh l’art pour l’art, seni untuk seni, dan bahwa sastra memiliki dunianya sendiri bisa menjadi tameng bagi sastrawan untuk tidak mempertanggung jawabkan karyanya. Dengan pola yang mirip (tidak sama) seperti ini pula Ki Panjikusmin tidak berani tampil mempertanggung jawabkan karyanya. Berbeda dengan cerpen “Langit Makin Mendung” yang divonis dari kacamata agama.

Dalam novel Ayu Utami ini, orang yang memilih jalan selibat pun diembat oleh tokoh perempuan Ayu, Yasmin. Setidaknya, dalam novel tersebut juga terbaca bahwa jalan yang dilalui para tokoh perempuan itu juga pada akhirnya merugikan orang (pihak) lain.

Kehadiran Ayu Utami dengan Saman dalam sejarah sastra Indonesia seperti magma yang mengejutkan banyak pihak, terutama menyangkut kefasihannya bicara soal seks secara vulgar, yang kemudian melahirkan epigon di wilayah ini seperti Djenar Maesa Ayu. Novel Saman inilah yang mampu menandingi Sitti Nurbaya dan Layar Terkambang dalam hal cetak ulang. Membaca Saman, kita seperti berada dalam posisi bimbang Adam: apakah buah kuldi itu harus dimakan? /dns



DAFTAR PUSTAKA
Gaarder, Jostein. 1996. Shophie’s World, Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat. (Penerjemah, Rahman Astuti). BAndung: Mizan.
Heraty, Toeti. 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hidayati, Arini. 2003. Sebab Uku Burung Fana. Yogyakarta: Putra Langit.
Maesa Ayu, Djenar. 2004. Jangan Main-Main (Dengan Kelamin). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prama, Prama. 2001. Percaya Cinta Percaya Keajaiban. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Rose, La. 1984. Kisi-Kisi Kehidupan. Jakarta: Pustaka Kartini.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Rasa.
Utami, Ayu. 2002. Saman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Wibowo, Wahyu. 2001. Otonomi Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana Seni dan Keindahan, dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo: Tiga Serangkai.

SEJARAH HIDUP MANUSIA KIAN BERLALU


Tuhan, kami berkabung dalam hari-hari ini…Apakah Engkau rasakan apa yang kami rasa? Apakah Engkau juga rasakan begitu menyesakkan dan semakin memaku kedirian kami? Apakah hidup memang harus begitu fana? Apakah ini yang telah Engkau titahkan kepada kami tuk memikul beban sedemikian banyak dan beratnya?!

Kemarin…dengan desau angin membawa terbang jiwa kami menuruni lembah…Melangkahkan kaki di sela-sela pepohonan jati yang menjulang tinggi…Seiring dengan itu, satu-dua daunnya berguguran…Berhenti tepat di atas kepala kami…Dan tangkainya kan kami bawa pulang…


Hari ini, selembar daun hijau gugur…Masih menyisakan peluh jemari di ujung ranting jati…Ada gerak misteri di celah udara, menggergaji waktu, menukik sepi…Menggapai diam ruang abadi…

Hai “Sang Jaket Merah”… Jangan menggigil kalau angin dingin dalam badai menyerbu tiba-tiba…Bulan belum datang…Perjalanan harus dilanjutkan menuju “terminal idaman”, walau berkendara kereta badai…Perjalanan ini tidak sendirian…Tapi, adakah yang masih tercecer atas debu darah sejarah? “Lihatlah dan ikuti tapak-tapak cahaya, di depan ada yang menunggu” !!!


Dan doa kami…Tuhan, tolong sapa kami dengan kata-kataMu, usap lembut dengan tanganMu, cium mesra dengan bibirMu…Kami senantiasa berharap, bahwa keadaan ini kan membawa jiwa dan pikiran serta menuntun kami menuju cahayaMu…

Jakarta, 31 Oktober 2006

Tebal