Selasa, 16 Maret 2010

Peranan Konsep Hermeneutika

Bahasa memberi suatu sarana bagi penulis, kritikus dan penikmat sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan yang lebih bermakna bagi kehidupan. Penikmatan terhadap karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya dapat dimulai dengan memahami bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Interpretasi ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai hermeneutika. Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).

Atas dasar itu, sebuah penelitian bidang sastra mutlak menggunakan metode hermeneutik, karena kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra pada awal dan akhirnya harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan para kaum akademisi yang mengkaji bidang sastra. Ada suatu kasus di sebuah universitas swasta, seorang mahasiswa fakultas bahasa dan sastra, jurusan indonesia yang sedang menyusun skripsi dibuat bingung oleh pembimbingnya, mahasiswa tersebut mengkaji puisi dalam skripsinya yang mutlak menggunakan metode hermeneutik, pembimbingnya menyarankan agar hermeneutik tidak dipakai, dengan alasan agar tidak tumpang-tindih dengan teori (strukturalisme genetik, teori ini merupakan pendekatan yang mengelaborasi faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam penelitian suatu karya sastra dengan medium visi dunia dari pengarang) yang dipakai, sampai pada akhirnya pada sidang skripsi, tim penguji menanyakan alasan penulis skripsi tidak menggunakan metode tersebut, karena pembahasan yang dikemukakan sangat bertalian dengan metode hermeneutik. Menurut Dr. Wahyu Wibowo, seorang ahli Filsafat Bahasa Biasa, hermeneutik bila dipakai sebagai metode tidak akan bertolak belakang dengan teori yang dipakai dalam kajian sastra. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai.

Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai (Eagleton, 1983: 66).
Hermeneutik umumnya dikenal secara luas sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya. Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam (Eagleton, 1983: 68).
Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa. Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan (Eagleton, 1983: 70).

Anatomi Puisi

Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, Prof. M. Atar Semi (1993) memberikan deskripsi tersebut karena puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan suatu pernyataan seni sastra yang paling baku dalam dunia kesusastraan. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi Indonesia modern. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh hakekat puisi yang merupakan inti pernyataan yang padat itu sebagai bentuk fakta kemanusiaan dalam proses asimilasi dan akomodasi itulah karya sastra sebagai fakta kemanusiaan memperoleh artinya. Proses tersebut sekaligus merupakan genesis dari struktur karya sastra. Dalam penggunaannya tidak hanya terbatas pada penyebaran dan penerimaan karya sastra, tetapi juga menyangkut terhadap penciptaan, dan diintegrasikan dalam analisis positif yang didasarkan pada prinsisp-prinsip perubahan dan perkembangan.

Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik definisi itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Pengertian atau batasan tentang puisi itu tidak hanya diperlukan oleh para ahli teori sastra, guru sastra, para akademisi yang sedang mendalami ilmu dan apresiasi sastra, tetapi juga bagi para penulis dan penyair. Bagi para ahli sastra, guru, dan akademisi, pengertian atau batasan puisi itu kegunaannya amatlah jelas, yaitu untuk landasan atau titik tolak kajian dan pemahaman puisi. Bagi para penyair, hal itu berharga karena akan membantu mereka dalam berkarya, dalam menentukan apakah karya mereka mencapai mutu puitik yang tinggi atau hanya menghasilkan suatu puisi yang tidak jelas struktur dan tujuannya. Walaupun mereka (penyair) tidak mesti memiliki definisi yang sama dengan definisi sendiri tentang hakikat puisi ciptaannya. Bahwa puisi itu memiliki makna yang luas dan beragam tidak dapat dipungkiri.

Beberapa ahli yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet mulyana (1956) memberi batasan puisi dengan menggunakan pendekatan psikolinguistik, karena puisi merupakan karya seni yang tidak saja berhubungan dengan masalah bahasa tetapi juga berhubungan dengan masalah jiwa.

Ada pula yang menggunakan pendekatan struktural seperti William Worsworth, yang merumuskan pengertian puisi: Poetry is the best words in the best order; artinya adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Adapula yang menggunakan pendekatan emotif seperti Leigh Hunt yang mengatakan Poetry is imaginative passion; puisi merupakan luapan gelora perasaaan yang bersifat imajinatif.

A. Unsur-unsur yang Membentuk Puisi
Dalam pembentukannya puisi terbagi menjadi tiga unsur, yakni:
1. Intuisi
Intuisi adalah satu daya atau kemampuan melihat suatu kebenaran atau kenyataan tanpa pengalaman langsung atau dibantu oleh suatu proses logika. Untuk lebih menjelaskan pengertian intuisi ini dalam kaitan dengan penciptaan puisi, marilah kita menukikkan perhatian pada karya puisi itu agar pembicaraan tidak meluas ke arah hal-hal yang terlalu filosofis.

Prof. M. Atar Semi (1993) menyatakan bahwa sebuah puisi dapat diumpamakan sebagai suatu pernyataan yang menyenangkan, yang muncul dari suatu kemampuan penyairnya melihat sesuatu secara antusias dengan jurus yang tepat. Penyair mempertimbangkan secara masak apa yang dilihatnya kemudian mengungkapkan hasil penglihatannya tanpa terlalu berkecenderungan untuk mempermasalahkannya. Pada dasarnya, intuisi itu lebih banyak merupakan hasil kumpulan latihan berpikir yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan begitu, sesuatu dapat dilihat atau diamati dengan cara tertentu dengan menggunakan indera keenam, yaitu perasaan. Oleh sebab itu pula puisi jarang sekali menggunakan persepsi intelektual. Intuisi politik merupakan salah satu bagian dari imajinasi yang lebih banyak berakar pada daya angan daripada dalam konsep. Oleh sebab itu pada sebuah kata yang digunakan dalam puisi tidak dapat diberi batasan secara denotatif tetapi lebih menyatakan beberapa macam kemungkinan pengertian.

Bila kita berbicara mengenai intuisi dalam puisi berarti kita juga berbicara tentang pancaran kebenaran yang dapat diterima secara universal. Hal ini disebabkan kehadiran intuisi di dalamnya, yang dapat menyebabkan kita dapat mengatakan bahwa puisi yang baik tidaklah mesti menyampaikan sesuatu yang asing atau aneh tetapi hanya memperlihatkan kepada kita sesuatu yang sebenarnya sudah kita ketahui. Hal ini lebih menjelaskan dan meyakinkan kita bahwa mengapa banyak orang yang menyenangi puisi karena ia menyampaikan sesuatu yang besar dan hebat dengan cara yang mudah dan sederhana.

Jadi, intuisi adalah suatu ketajaman kata hati atau bisikan kalbu dalam menangkap isyarat-isyarat alam atau peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh makna.

2. Imajinasi
Imajinasi merupakan segi kedua yang membedakan puisi dengan prosa. Dalam puisi pengalaman jiwa itu diwujudkan ke dalam bentuk kata-kata. Makin dekat dan makin lengkap perwujudan angan itu maka semakin tinggi mutu puisi tersebut. Di samping itu, bertambah lengkap dan dalam pengalaman jiwa itu bertambah tinggi pula mutu karya tersebut.

Harus diakui apa yang dikatakan oleh Prof. M. Atar Semi (1993) bahwa angan itu tidak sama tepatnya dengan isi ujaran dalam kata. Karena angan itu bersifat abstrak maka ia hanya dapat diketahui wujud kongkritnya oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan melahirkannya ke dalam bentuk tanda --- dalam hal ini bahasa --- angan itu dapat diketahui oleh orang lain. Tetapi tanda itu sendiri tidak persis sama dengan yang ditandainya. Dekatnya hubungan antara sesuatu yang dikhayalkan dengan kongkritisasinya bergantung kepada kemampuan pengarang mengkongkritkan apa yang dirasakannya pada saat membuat puisi. Mengkongkritkan apa yang dikhayalkan itulah yang dinamakan imajinasi. Bila seseorang sedang mengimajinasikan sesuatu berarti ia sedang memberi bentuk terhadap apa yang dikhayalkan atau dirasakannya. Di dalam penciptaan puisi terjadilah imajinasi. Suatu pengkongkritan angan, sehingga isi dan bentuk sama-sama kongkrit. Isi dibaurkan dengan bentuk merupakan hasil pengkongkritan angan. Bentuk itu sendiri baru mempunyai arti bila sudah diisi dengan pengertian. Setiap perubahan yang terjadi pada angan atau khayal betapapun kecilnya akan memberi perubahan bentuk karena keduanya saling mempengaruhi. Daya imajinasi dalam karya puisi pada hakikatnya tidak kelihatan, karena ia terpendam dalam kesadaran orang masing-masing yang dapat dilihat dan dibicarakan adalah suatu yang muncul ke permukaan sebagai penjelmaan pengalaman jiwa yang dapat diamati dalam bentuk kata-kata yang digunakan sebagai lambang atau simbol.

Jadi, dengan uraian di atas jelas bahwa kata-kata yang digunakan sebagai alat pengungkapan angan dapat memberikan konotasi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Konotasi itu mungkin saja bisa sama bila penyair mampu memilih secara cermat simbol-simbol yang digunakan sebagai alat untuk mengkongkritkan sesuatu yang abstrak, yang berada di dalam pikiran dan perasaannya. Kata “bunga” dapat menimbulkan tafsiran yang luas dan macam-macam, namun setelah kata itu ditambah dengan kata lain seperti “bunga bangsa” maka pengertian yang dituntutnya menjadi lebih jelas dan terjurus.

3. Sintesis
Menurut Toeti Heraty (2000) sintesis merupakan unsur ketiga dalm pembentukan puisi. Sintesis berarti suatu kesatuan, suatu gabungan atau ikatan yang merupakan lawan dari analisis yang berarti terurai, yang terlihat unsur-unsur yang membentuk keseluruhan. Puisi dapat dikatakan sebagai suatu proses terpadu, sedangkan proses merupakan suatu kontruksi yang tersusun dari langkah demi langkah. Puisi merupakan suatu yang terpusat.

Suatu karakteristik dari kesintesisan puisi adalah pernyataan yang disampaikan bersifat unik, ia tidak langsung mengacu kepada sesuatu yang diungkapkannya, tetapi dapat mengandung pengertian yang luas atau pengertian yang berganda.

Dapat disimpulkan bahwa karangan puisi bersifat pemusatan atau konsentratif, karena bentuknya yang memusatkan pelukisannya pada hal-hal yang pokok saja. Bahasa yang digunakan dalam karya puisi bersifat konotatif, ia senantiasa memberikan implikasi lain dari apa yang sering dipahami mengenai kata-kata tersebut. Seringkali kata-kata yang digunakan dalam puisi sebagai kata-kata bersayap yang disebabkan kata-kata tersebut mengemban arti yang lebih luas, lebih dari satu.

Di samping itu, kemungkinan arti yang dipancarkan oleh bahasa puisi itu berkaitan erat dengan perasaan dan pikiran penyair. Tidak semua penyair yang menggunakan kata-kata yang sama mempunyai maksud yang serupa. Misalnya kata “bulan” yang digunakan dalam puisi yang lain.

Bahasa puisi meninggalkan kesan rasa dan daya tanggap yang tinggi oleh pembacanya. Untuk itu ia memerlukan kehalusan penglihatan dan pendengaran (visual and auditory) karena memang puisi itu merupakan suatu sintesis dari sesuatu yang luas dan dalam. Tiga unsur yang mendominasi puisi, yaitu intuisi, imajinasi, dan sintesis.

B. Unsur-unsur yang Membangun Puisi
Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau memberikan perhatian kita terhadapnya maka kita biasanya akan mendapatkan sesuatu dari puisi tersebut, mungkin berupa pengetahuan, kesan, atau berupa apa saja. Namun apa yang kita terima dan rasakan itu tidak dapat kita analisis disebabkan hal itu muncul hanya dalam puisi itu secara bulat dan utuh. Walaupun kita dapat menangkap beberapa hal secara sekaligus dari suatu puisi, namun kita dapat menjelaskannya secara sekaligus.

Sungguhpun amat sukar membeda-bedakan unsur-unsur yang membangun sebuah puisi, namun di dalam kesukaran itu kita memperoleh juga banyak manfaat sebagai bahan diskusi. Bentuk puisi itu umumnya lebih jelas dibandingkan dengan bentuk prosa, karena puisi merupakan bentuk karya sastra yang indah dan sekaligus pula sebagai bentuk sastra yang tertua.

Marjorie Boulton (1979) membagi anatomi puisi atas dua bagian, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Namun Boulton mengaku bahwa adalah tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kita harus membicarakan bentuk fisik dan bentuk mental sebuah puisi maka dalam pembicaraan tidak dapat dilihat pertalian satu sama lain.

Bentuk puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan larik puisi; termasuk ke dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan mental, terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya.

Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan Bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi.
2. Lapisan arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa.
3. Lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.

Ketiga lapisan itu saling bertautan, lapisan bunyi menimbulkan lapisan arti, lapisan arti menimbulkan lapisan tema. Bila lapisan bunyi yang merupakan lapisan permukaan tidak ada, atau katakanlah berantakan, sedangkan lapisan arti tidak ada pula, maka dengan sendirinya lapisan tema pun tidak ada, malahan puisi itu sendiri tidak pernah ada, atau kalaupun ada, tidak dapat dikatakan sebagai sebagai sebuah puisi. Oleh sebab itu lapisan pertama yang berupa lapisan bunyi sebuah puisi amat penting; lapisan pertama itu betapapun baiknya tidak akan menimbulkan suatu totalitas yang baik dan sempurna, manakala lapisan pertama itu tidak mampu melahirkan lapisan kedua dan ketiga yang baik. Dengan kata lain, sebuah puisi itu merupakan suatu totalitas.

Sebagai sebuah totalitas amatlah sukar membicarakan unsur-unsurnya satu persatu, tanpa memperlihatkan kaitan satu sama lain. Tetapi untuk kepentingan akademis, bukan kepentingan apresiasif atau efektif, pembicaraan unsur-unsur itu dilakukan untuk melihat dan mengetahui anatomi puisi itu satu persatu, bagian demi bagian, dalam rangka menambahkan pemahaman dalam melihatnya sebagai suatu keseluruhan.

Jumat, 05 Maret 2010

Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya: melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Sosiologi sastra merupakan telaah sastra yang berpusat pada persoalan hubungan antara karya sastra dengan pengarang, pengarang dengan pembaca, pembaca dengan karya, dan karya dengan kenyataan sosial. Pokok dari pembahasan yang akan dibahas dari novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya adalah melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Teori mimetic adalah teori sastra yang menonjolkan aspek acuan atau refrensial dalam menelaah karya sastra. Teori ini berpandangan pada karya sastra yang dianggap sebagai tiruan / penggambaran kenyataan hidup manusia.
Burung-Burung Manyar adalah karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang akrab disapa Romo Mangun seperti memasuki dunia revolusi Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950 yang penuh dengan konflik antara orang Indonesia sendiri dengan Belanda termasuk juga pertentangan dengan orang Indonesia yang anti Republik. Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar, dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering "mendengar" keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Hibriditas Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar, merupakan pernyataan politik Mangunwijaya dan sumbangan pemikirannya terhadap kondisi "pasca-Indonesia" yang amat heterogen.
Novel setebal 261 halaman tersebut berisi perjalanan hidup seorang lelaki bernama Setadewa yang peranakan Belanda-Jawa dan jatuh cinta pada teman sepermainannya masa kecil, seorang perempuan Indonesia asli dari kota Bogor bernama Larasati. Latar sejarah Indonesia pada tahun 1934-1944, kemudian tahun 1945-1950 dan tahun 1968-1978 menjiwai seluruh roman yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara obyektif bahkan cenderung lebih dari sisi Belanda. Novel ini juga berusaha menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan dari pribadi-pribadi yang memiliki idealisme berbeda terutama dalam hubungannya dengan pengertian nasionalisme pada konteks Indonesia saat itu.
“Burung Burung Manyar” adalah karya Y.B. Mangunwijaya atau banyak yang menyebut sebagai Romo Mangun. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru.

Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Roma Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa –meski berseberangan– hingga di akhir cerita, yakni tokoh penting bernama Larasati.

Kemudian dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan sangat berlawanan.
Dalam penulisan ini tidak akan mengungkap secara gamblang bagaimana cerita maupun kupasan mendalam mengenai perjalanan roman yang dimulai dari pertama hingga periode ketiga. Akan tetapi penulis mencoba menganalisa sudut terkecil dari kehidupan tokoh-tokoh yang ada dalam roman “Burung Burung Manyar” karya Romo Mangun.
Roman ini secara realitas bisa mengungkapkan mengenai banyak hal kehidupan dalam perjalanan dari awal hingga periode ketiga. Banyak hal yang diungkap; mulai kehidupan batin hidup zaman Jepang–termasuk didalamnya keadaan tak menentu zaman Jepang. Kemudian mengungkap juga moralitas kaum pejuang Republik Indonesia, dan yang akan dikupas dalam analisis kali ini berupa kehidupan batin orang yang hidup sebagai gundik orang-orang Jepang.

Gundik
Gundik, banyak yang menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Artinya, perempuan ini hanya sebagai the second women atau istilah yang fenomental sekarang disebut dengan Wanita Idalam lain (WIL) setelah ada istri utama.
Kalau raja-raja Jawa dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Ada semacam perasaan tabu manakala seorang raja hanya mempunyai satu istri utama. Kenapa? Karena ada pemahaman yang dinamakan ‘lanang temenan’ kalau sudah bisa mempunyai Turonggo–simbol laki-laki–sudah bisa mencapai tahta dan mempunyai banyak wanita.

Maka untuk kalangan raja-raja jaman dulu sudah bukan hal yang tabu kalau mempunyai perempuan sampai lebih dari tiga. Inilah yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan melanggengkan kerajaannya.
Bahkan cerita-cerita dari India Utara pun dalam tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna mempunyai lebih dari satu istri, mulai dari Wara Srikandhi, Gandawati, Dewi Ulupi, Dyah Manuhara dan Sembodro.

Adanya laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.
Bahkan beberapa waktu yang lalu di Sumatra akibat ulah seorang datuk–banyak yang menyebut sebagai Datuk Maringgih–42 perempuan meninggal hanya sebagai tumbal kesaktian ilmu hitam (murder magic). Itu semua merupakan ilustrasi ketidakberdayaan menghadapi superior laki-laki.

Pembangkangan Terselubung
Dalam roman “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangun diilustrasikan bagaimana terjepitnya posisi perempuan saat menghadapi para tentara Jepang waktu itu. Bagaimana Romo Mangun menceritakan liciknya perwira-perwira Jepang menawan wanita istri tentara Belanda yang berhasil ditangkap Jepang. Lihat kutipan di bawah ini:
“Suami tante Pauline (dulu) sersan KNIL Totok yang ditawan di Burma. Dan kini tante Pauline menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Pauline, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga … (BBM: 26).

Ilustrasi di atas, kiranya tidak hanya wanita Jawa saja yang mengenal adanya gundik. Seperti halnya tulisan di atas, tante Pauline yang sebelumnya sebagai istri sersan KNIL-Belanda, akibat masuknya Jepang di Indonesia, maka wanita Belanda pun menjadi korban menjadi gundik para perwira Jepang.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan saat itu wanita harus menjalani kehidupannya sebagai gundik. Paling tidak dalam alam kehidupan Burung Burung Manyar. Pertama, seseorang (wanita) ingin hidup layak pada zaman yang sulit, dan demi menyambung hidup. Kemudian yang kedua, karena kesetiaan pada suami atau saudaranya agar tidak dibunuh oleh para perwira Jepang maka dengan keterpaksaan mereka memilih menjadi gundik Jepang. Seperti digambarkan oleh tokoh Marice (ibu Teto).

“Pokoknya mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpetai yang berwewenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang terakhir. Dan mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf … (BBM: 34).

Dari kutipan di atas tampak pada zaman itu memang nyata ada kehidupan wanita-wanita yang dijadikan gundik Jepang. Seorang wanita sampai menjadi gundik tentara Jepang, secara naluri sebenarnya tidak menginginkan akan perbuatan untuk menjadi gundik. Hanya karena keterpakasaan semua itu dijalani.

Ini sama dengan konsep Jawa yang “Inggih-inggih ora kepanggih” atau pembangkangan terselubung oleh wanita saat menjadi gundik perwira Jepang. Faktor keluarga merupakan hal yang penting untuk diselamatkan meski harus menjadi gundik yang notabene secara emosi nalurinya mengatakan tidak menginginkan. Karena posisi yang lemah dan ditambah ultimatum menjadikan lebih terjepitlah posisi wanita. Meski dalam hatinya–dalam konsep Jawa–mengatakan semua yang dijalaninya untuk menuruti kemauan perwira Belanda itu hanya sekedar ucapan Inggih-inggih ora kepanggih tadi.

Burung-Burung Manyar & Pergeseran Kekuasaan
Burung-Burung Manyar. Roman yang menceritakan Setadewa alias Teto dari zaman penjajahan Jepang hingga masa awal-awal Indonesia merdeka, sampai masa pembangunan. Bagian yang paling menarik adalah bagian III, bab 18, “Aula Hikmah”, saat Atik sedang menjalani sidang doktoralnya. Atik, kekasih lama dan sejati Teto (protagonista pria, anak Indo yang membela Belanda, membenci jepang, dan sebenarnya masih mencintai Indonesia) dalam sidangnya itu menjelaskan tentang burung manyar (dengan perubahan ):…perilaku yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki. Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan, mereka mulai membangun sarang, yang sangat rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. Manyar-manyar putri hanya melihat saja dengan enak-enak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan manyar-manyar lelaki.

Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu menaksir hasil pembangunan para jantn itu, mempertimbangkan sejenak, dan memilih yang…berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih. Alangkah sedihnya yang tak dipilih.

Apa yang dilakukan manyar lelaki yang sial sekali tak dipilih itu? Catat: mereka frustasi, mereka membongkar menghancurkan sarang yang tadi dibangun susah payah, hingga berkeping-keping di tanah. Dramatis dan tragis.

Setelah itu? Manyar-manyar lelaki selesai berputus asa, bangkit mengumpulkan alang-alang lagi, membangun sarang indah kembali dengan sebuah harapan yang bangkit hidup: semoga kali ini ada putri yang memilihnya…

Dimanapun dalam level kehidupan manapun: women rules! Para lelaki, mengajukan diri, toh akhirnya yang berkuasa adalah tuan putri. Tapi benarkah yang berkuasa hanya tuan putri saja? Saya membayangkan burung manyar lagi, saat manyar perempuan telah memilih sarang pejantannya. Kira-kira apa yang akan terjadi ya? Perkiraan saya (semoga ada ahli burung yang dapat mengkonfirmasi) seperti ini: Manyar lelaki akan merasa bahagia, sekaligus menerima kekuasaan dari manyar putri. Sekarang, ia yang berkuasa, karena ia yang membangun rumah perlindungan tempat dimana manyar putri mengharap perlindungan.

Kapan manyar putri berkuasa lagi? Saat mereka harus bertelur. Hanya manyar putri, yang secara tak sadar dan alamiah, menentukan bisa bertelur atau tidak. Itu kekuasaan alamiah dan tanpa sadar, yang ditentukan oleh ‘rahim’ si manyar putri.

Hubungan kekuasaan ini terus berlanjut, secara adil, saling mengisi, dan akhirnya…harmonis. Allah telah menciptakan alam ini dengan perhitungan, dengan adil. Mungkin itu juga yang tersirat dalam fenomena ini: ketika pria dan wanita menikah, kebanyakan nama-nama yang menikah disebut dengan urutan nama mempelai wanita-nama mempelai pria.

Namun, karena rumah (rumah tangga?) yang digunakan para putri tetaplah milik para jantan, maka “Ar-Rijaalu qawwamunna alan Nisaa”, laki-laki adalah qawwam perempuan. Qawwam bukanlah penguasa, apalagi tiran yang dapat berbuat seenaknya kepada para perempuan. Bukan pula sejenis pemimpin zalim. Ia adalah “yang menegakkan”, yang melindungi. Para pembuat dan pemilik sarang…

Dalam roman ini pula, Romo Mangun secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. BBM terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang kita kala itu gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang—terutama pada masa kependudukan Jepang, di mana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang.

Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah merengkuh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Romo Mangun begitu piawai menuliskannya.

Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Nica. Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan ‘lawannya’ meski dalam hati kecil mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.

Dalam novel ini menandakan manusia harus berpegang teguh terhadap pendirian masing-masing juga menghormati pilihan orang lain walaupun dalam suatu ikatan yang kuat.

PANDANGAN DUNIA CHAIRIL ANWAR: KRITIK KEHIDUPAN DALAM PUISI AKU

Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan pernyataan seni sastra yang paling baku. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Sehingga dari dahulu hingga sekarang puisi selalu diciptakan orang dan selalu dibaca, dideklamasikan untuk lebih merasakan kenikmatan seninya dan nilai kejiwaannya yang tinggi. Karya sastra puisi digemari oleh semua aspek masyarakat, karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi Indonesia modern.

Puisi “Aku” mencerminkan pandangan dunia pengarangnya tentang masyarakat pada zamannya yang ingin bebas dari penjajahan dan mampu menjadi penggugah semangat sebagai senjata ampuh dalam mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Pandangan pengarang merupakan dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial, dokumen sosial dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial, dan penelusuran tipe-tipe sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan puisi “Aku” karya Chairil Anwar diantaranya, fakta kemanusiaan, subjek kolektif, pandangan dunia.

Batasan masalah hanya pada lapis pandang dunia saja yaitu, pandangan Chairil anwar sebagai pengarang terhadap keadaan sosial yang ada pada saat karyanya lahir, sehingga ia dapat menggambarkan keadaan yang tertuang dalam karya tersebut, pandangan puisi “Aku” sebagai karya yang terbentuk pada masanya yang merupakan dokumen sebagai potret kenyataan sosial, uraian ikhtisar sejarah, dan penelusuran tipe-tipe sosial, pandangan masyarakat atau ideologinya terhadap karya yang mewakili kehidupan mereka sebagai cerminan keadaan sosial yang tergambar pada karya tersebut.

Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap aturan-aturan para penindas yang sewenang-wenang terhadap rakyat, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu. Yang penting , memberikan sesuatu yang berguna bagi kehidupan ini daripada tidak sama sekali.

Sajak “Aku” inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial).

Fakta sosial yang terkandung dalam Puisi “Aku” karya Chairil Anwar masih relevan dengan keadaan dunia dan Indonesia pada khususnya, semangat perjuangan untuk mendapatkan perubahan dari keadaan yang tertindas dan ketidakadilan ke keadaan di mana masyarakat mendapatkan semua itu.

Ia memang besar karena kesungguhannya bekerja dan memperjuangkan pilihan hidupnya. Semangat inilah yang dapat menjadi teladan bagi generasi muda. Karena itu generasi muda Indonesia harus tergugah dengan Puisi “aku” dan Chairil Anwar, pemuda itu selalu membutuhkan keteladanan. Kenapa harus mereka? Karena generasi muda adalah pewaris, penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sebagai sumber insani bagi pembangunan nasional, ibarat mata rantai yang tergerai panjang, posisi generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling sentral dalam artian bahwa, pemuda berperan sebagai pelestari nilai budaya, kejuangan, pelopor dan perintis pembaruan melalui karsa, karya dan dedikasi. Selain itu pemuda juga mempunyai peran dalam menggerakkan pembangunan sekaligus menjadi pelaku aktif dalam proses pembangunan nasional serta berperan dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, pemuda sebagai bagian integral dari warga negara sangat berperan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga sudah seharusnya generasi muda memiliki semangat yang tinggi, karena generasi muda sebagai motor penggerak harus mampu menciptakan inovasi dan kreatifitas yang kondusif dalam masyarakat.

Pada titik inilah, khazanah puisi Chairil kiranya memberikan pandangan terhadap keadaan sosial yang ada pada saat karyanya lahir, sehingga ia dapat menggambarkan keadaan yang tertuang dalam karya tersebut sekaligus memberi pelajaran yang berharga bagi kita di sebuah era ketika otonomi kesadaran pribadi kian mudah terancam oleh gilasan mesin kekuasaan (politik, ekonomi, sosial, budaya, agama) yang berbahan bakar massa, seperti era kita sekarang.









DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Chairil. 1981. Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Budiman, Arief . 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Calzoum Bahri, Sutardji. 1984. O Amuk Kapak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Culler, Jonathan. 2003. Barthes (diterjemahkan dari Barthes: A Very Short Introduction oleh Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Djoko Pradopo, Rakhmat. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees.
Djoko Pradopo, Rachmat. 1985. Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djoko Damono, Sapardi. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djaya , Sjuman. 2003. Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Charil Anwar. Jakarta: Metafor Intermedia Indonesia.
Endriswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Eneste, Panusuk. 2007. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Eneste, Panusuk. 1995. Mengenal Chairil Anwar. Jakarta: Obor.
Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Foulcher, Keith. 1993. Angkatan ‘45: Sastra, Politik Kebudayaan, dan Revolulsi Indonesia. Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.
Herman, J. Waluyo. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Hakim, Zaenal. 1996. Edisi kritis puisi Chairil Anwar. Jakarta: Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta: Gramedia.
Jassin, H.B. 1983. Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya. Jakarta: Gunung Agung.
Jabrohim (ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Junus, Husain. 1984. Gaya bahasa Chairil Anwar. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
Lefevere, A. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition. Amsterdam: Van Gorcum, Assen.
Madison, G.B. 1988. The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Piaget, Jean. 1995. Strukturalisme (diterjemahkan dari Le Structuralisme oleh Hermoyo). Jakarta: Obor Indonesia.
Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner: Menyandingkan sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta: Qalam.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Semi, Atar. 1998. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Valdes, M.J. 1987. Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature. London: University of Toronto Press.
Wellek, Rene dan Warren. 1989. Teori Kesusastraan (penerjemah Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Membaca Ayu Utami: Perempuan yang Mempersetankan Perkawinan Oleh: Dadan Suhendra

Sastra yang baik, senantiasa eksis. Saat dibaca ulang, juga dicetak ulang, maka kehadirannya tetap sebagai penanda. Persoalan yang diangkat di dalam karya sastra itu juga tetap ada, berkaitan dengan saat ini. Seperti novel Saman karya Ayu Utami sebagai pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 1998 (yang membuat heboh karena berbicara perilaku seksual perempuan dengan ekplisit).

Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam kedua novel itu mempersetankan lembaga perkawinan dan itu sah saja. Dalam novel tersebut, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya.

Saman, yang bernama asli Athanasius Wisanggeni, seorang pastor muda yang baru saja ditahbiskan. Wis kecil mengalami banyak kenyataan pahit. Kematian yang dialami ketiga adiknya, secara misterius dan sulit dipahami. Luka batin yang menderanya hingga akhir.

Sepanjang malam Sudoyo mendekap istrinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan jenasah, tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam. In parasidum deducant te angeli.

Perkenalannya dengan Upi, seorang anak perempuan gila, dan Anson abang Upi di kota minyak Perabumulih tempat dia ditugaskan, adalah awal dari perjalanan kisah ini. Wis menemukan banyak ketidakadilan pemerintah terhadap para transmigran disana.

Wis duduk di antara mereka dengan gelisah. Ia telah mencatat cukup banyak. Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan, pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang. Namun belakangan ini harga karet turun sehingga yang mereka terima kadang tak sampai lima retus perak per kilo getah cair. Mereka memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan dating sambil mengutangi beras serta kebutuhan tani.

Pemerintah pusat, dengan kekuasaannya yang dikekalkan, menghirup darah segar rakyat sendiri, mencabik kemerdekaan, merampas keluguan dan memasungnya dalam sel-sel penuh tahi, birokrasi!

Wis membela kemerdekaan rakyat di lokasi tersebut, karena pemerintah memaksa mengganti lahan karet mereka dengan kelapa sawit, dengan ancaman. Hingga keadaan semakin tak terkendali. Perkampungan dibakar, Wis diculik, disekap, dan diinterogasi (khas represifnya orde baru). Hingga akhirnya Anson dan kawan-kawannya membebaskan dia. Sejak saat itu, Wis menjadi orang yang paling dicari oleh pemerintah.

Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel menyebut-nyebut aktor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri.

Untuk menghindari diri dari fitnahan pemerintah, Wis mengganti identitasnya dan memilih Saman sebagai namanya yang baru. Saat itulah dimulai perlawanannya terhadap pemerintah, kegelisahannya, pemaknaannya pada nilai-nilai baru, petualangannya, hingga pertemuannya dengan teman-teman baru, yang semuanya itu menjadi faktor pendukung perjuangannya sampai akhir.

Para tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Dalam wawancara dengan sebuah majalah, Ayu Utami mengakui bahwa tema novel Saman adalah mengenai seksualitas. Ia pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan. Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil.

Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu (petting) dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya. Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur. Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.

Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA (kini SMU) sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.

Ayu Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan sadar menggerogoti rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan heteroseks. Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena, perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang.

Saya membacanya demikian: bahkan terhadap seorang perempuan yang sudah menikah atau melangsungkan perkawinan pun Ayu mencederainya. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Ayu. Saman bertugas menyembunyikan dan melarikan tiga aktivis yang dikejar-kejar aparat keamanan karena tersangkut kasus 27 Juli 1996. Namun, gagal melarikan ketiga aktivis itu ke luar negeri. Dalam novel Ayu, laki-laki “baik-baik” pun dimatikan. Bagaimana kita menyikapi Saman? Dalam berbagai kesempatan, Ayu Utami sering mengeluarkan pernyataan (gagasannya) yang menyatakan bahwa dirinya tidak menyetujui adanya lembaga perkawinan, dan cenderung memilih untuk melakoni kehidupan tanpa peraturan mengenai seks. Dengan kata lain, tidak menolak kebebasan seksual.

Sedikit banyak, hal ini menjadi semacam kredo bagi Ayu Utami dalam berkarya. Saya sangat yakin bahwa karya-karya Ayu Utami tidak akan lari jauh dari persoalan seksual, anti-perkawinan, emoh-keperawanan, dan sejenisnya. Kalaupun ada karya-karyanya yang mengangkat persoalan di luar seks, maka butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa mewujudkannya. Kalau kita merunut kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dan karya-karya awalnya pada 1974, maka akan kita dapati korelasi seperti itu. Dan, jarak antara lahirnya kredo puisi SCB dengan sajak “Tanah Airmata” yang dahsyat itu, yang diciptakannya menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, demikian panjangnya. Saya sependapat dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan memilih dan mengolah kata (diksi) yang demikian cemerlang, atau kata-katanya bercahaya seperti kristal, sebagaimana yang dikatakan Ignas Kleden. Tapi, bahasa yang canggih itu digunakan untuk mengemas sebuah gagasan besar yang merontokkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Bahasa dapat menutupi pikiran-pikiran, kata pepatah Prancis. Dan, memang, daya ungkap Ayu Utami memang luar biasa, sehingga pembaca dibuat terpukau dan terkejut sekaligus.

Saya sangat yakin bahwa Saman tidak dimaksudkan Ayu Utami sebagai karya klangenan, apalagi dalam kedua novel tersebut Ayu juga menyinggung kasus kerusuhan rasial di Medan, kasus G30S, pembantaian pasca-G30S terhadap orang-orang yang diduga sebagai PKI, peristiwa 27 Juli 1996, dan beberapa peristiwa sosial politik di tanah air. Ada gagasan besar yang hendak disampaikannya, yakni mendobrak budaya patriarkal. Dalam hal ini, ia ingin membebaskan “kelamin” kemana suka. Sayangnya, Sapardi tidak sampai memberikan penilaian apakah nilai-nilai dalam kedua novel itu bisa dibenarkan atau tidak, memiliki nilai kepantasan di masyarakat kita atau tidak. Inilah yang membuat sebagian pembaca novel Ayu Utami merasa terkejut dengan penanaman nilai seperti ini.

Konsep humanisme universal yang memegang teguh l’art pour l’art, seni untuk seni, dan bahwa sastra memiliki dunianya sendiri bisa menjadi tameng bagi sastrawan untuk tidak mempertanggung jawabkan karyanya. Dengan pola yang mirip (tidak sama) seperti ini pula Ki Panjikusmin tidak berani tampil mempertanggung jawabkan karyanya. Berbeda dengan cerpen “Langit Makin Mendung” yang divonis dari kacamata agama.

Dalam novel Ayu Utami ini, orang yang memilih jalan selibat pun diembat oleh tokoh perempuan Ayu, Yasmin. Setidaknya, dalam novel tersebut juga terbaca bahwa jalan yang dilalui para tokoh perempuan itu juga pada akhirnya merugikan orang (pihak) lain.

Kehadiran Ayu Utami dengan Saman dalam sejarah sastra Indonesia seperti magma yang mengejutkan banyak pihak, terutama menyangkut kefasihannya bicara soal seks secara vulgar, yang kemudian melahirkan epigon di wilayah ini seperti Djenar Maesa Ayu. Novel Saman inilah yang mampu menandingi Sitti Nurbaya dan Layar Terkambang dalam hal cetak ulang. Membaca Saman, kita seperti berada dalam posisi bimbang Adam: apakah buah kuldi itu harus dimakan? /dns



DAFTAR PUSTAKA
Gaarder, Jostein. 1996. Shophie’s World, Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat. (Penerjemah, Rahman Astuti). BAndung: Mizan.
Heraty, Toeti. 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hidayati, Arini. 2003. Sebab Uku Burung Fana. Yogyakarta: Putra Langit.
Maesa Ayu, Djenar. 2004. Jangan Main-Main (Dengan Kelamin). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prama, Prama. 2001. Percaya Cinta Percaya Keajaiban. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Rose, La. 1984. Kisi-Kisi Kehidupan. Jakarta: Pustaka Kartini.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Rasa.
Utami, Ayu. 2002. Saman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Wibowo, Wahyu. 2001. Otonomi Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana Seni dan Keindahan, dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo: Tiga Serangkai.

SEJARAH HIDUP MANUSIA KIAN BERLALU


Tuhan, kami berkabung dalam hari-hari ini…Apakah Engkau rasakan apa yang kami rasa? Apakah Engkau juga rasakan begitu menyesakkan dan semakin memaku kedirian kami? Apakah hidup memang harus begitu fana? Apakah ini yang telah Engkau titahkan kepada kami tuk memikul beban sedemikian banyak dan beratnya?!

Kemarin…dengan desau angin membawa terbang jiwa kami menuruni lembah…Melangkahkan kaki di sela-sela pepohonan jati yang menjulang tinggi…Seiring dengan itu, satu-dua daunnya berguguran…Berhenti tepat di atas kepala kami…Dan tangkainya kan kami bawa pulang…


Hari ini, selembar daun hijau gugur…Masih menyisakan peluh jemari di ujung ranting jati…Ada gerak misteri di celah udara, menggergaji waktu, menukik sepi…Menggapai diam ruang abadi…

Hai “Sang Jaket Merah”… Jangan menggigil kalau angin dingin dalam badai menyerbu tiba-tiba…Bulan belum datang…Perjalanan harus dilanjutkan menuju “terminal idaman”, walau berkendara kereta badai…Perjalanan ini tidak sendirian…Tapi, adakah yang masih tercecer atas debu darah sejarah? “Lihatlah dan ikuti tapak-tapak cahaya, di depan ada yang menunggu” !!!


Dan doa kami…Tuhan, tolong sapa kami dengan kata-kataMu, usap lembut dengan tanganMu, cium mesra dengan bibirMu…Kami senantiasa berharap, bahwa keadaan ini kan membawa jiwa dan pikiran serta menuntun kami menuju cahayaMu…

Jakarta, 31 Oktober 2006

Tebal

Busana Betawi dari Masa ke Masa

Menurut sejarawan Australia, Lance Casle, konon, Betawi adalah etnis yang baru lahir. Pendapat itu didasarkannya atas studi demografi penduduk Batavia. Pada sensus tahun 1815-1853, etnis Betawi belum tercatat. Kategori Betawi sebagai etnis, baru muncul pada tahun 1930. Dia menyimpulkan, etnis bernama Betawi adalah campuran Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Bugis, dan Melayu. Situs Bappedajakarta.go.id mencatat etnis penduduk itu adalah mereka yang dijadikan budak belian, yang di abad ke-18 merupakan mayoritas (49%) penduduk Batavia. Jejak percampuran itu didasarkan pula atas studi kebudayaan: baik bahasa maupun kesenian Betawi yang mengandung banyak unsur perpaduan budaya dari etnis pembentuk maupun dari luar. Belum selesai perdebatan soal asal-usul, budaya Betawi akan punah satu generasi mendatang. Alasannya ada dua: karena ketidakpedulian orang betawi terhadap budayanya dan penggusuran orang Betawi ke pinggiran. Dari 4 juta orang Betawi, tinggal 25% yang tinggal di provinsi DKI Jakarta. Bila tesis Lance Casle bahwa orang Beyawi menyatakan dirinya sebagai etnis tahun 1930, itu berarti entitas Betawi akan mati muda. Sesuram itukah?


Identitas yang kabur, dengan stigma keturunan budak belian itu, pernah membuat orang Betawi enggan mengakui etnisnya. Dulu, terutama tahun 1950-an, orang Betawi memilih mengaku sebagai orang Jakarta. Organisasi-organisasi juga diberi nama Jakarta. Saya bersyukur itu sudah mulai berkurang. Sejak tahun 1989 dilakukan serangkaian penelitian terhadap Betawi. Hal itu dilakukan karena ingin manjawab tesis Lance. Setelah mengamati sejumlah situs arkeologi dan menelisik refrensi kepustakaaan. Betawi, tak ubahnya suku Indian dan Aborigin, yang telah lama mendiami tempatnya, kendati diberi nama rujukan indentitas belakangan. Percampuran etnis bisa saja terjadi, tapi percampuran itu dengan orang Betawi, bukan percampuran yang membentuk etnis Betawi.


Pria Betawi zaman dulu, sering mengenakan baju sadariah, sandal jepit dari kulit, celana batik komprang dan menyampirkan sarung di pundaknya lengkap dengan kopiah hitam di kepala. Sedangkan perempuan Betawi, tampil dengan anggun mengenakan kebaya encim, sarung batik, selendang polos, selop beludru dan konde cepol. Itulah gambaran mengenai busana Betawi.


Hanya sayang, sampai sekarang memang belum ada tulisan atau dokumen yang menjelaskan secara pasti mengenai sejarah atau legenda busana Betawi. Namun gambaran seperti itu dapat diperoleh dari cerita orang tua tempo dulu, kira-kira satu atau dua generasi sekarang.


Jika kita mengamati busana Betawi, sebenarnya busana ini mempunyai beragam model. Di setiap wilayah kota Jakarta, banyak ditemukan berbagai ragam model busana Betawi. Makanya tak heran jika kemudian terlihat perbedaan busana yang satu dengan wilayah lainnya khususnya busana Betawi pinggiran dengan busana Betawi di tengah kota.


Ragam buasana Betawi yang sempat hilang dalam percaturan sejarah Jakarta, kini mulai muncul kembali. Minimal, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, kita bisa menyimak perkembangan busana Betawi dari berbagai literatur dan studi. Busana Betawi pada sekitar tahun 1975 yang disebut sebagai titik balik kemunculan Betawi. Pada tahun itu dimulai berbagai studi tentang Betawi dan pada tahun itu juga muncul gerakan pelestarian dan pengembangan budaya Betawi. Kendati terjadi persentuhan dan pembauran budaya dengan berbagai bangsa, ciri khas budaya Betawi ternyata tetap terpelihara.


Itu terlihat jelas pada busana tradisionalnya. Untuk pakaian resmi adat Betawi, salah satunya menunjukkan perpaduan antara budaya Arab, Cina dan Eropa. Jika kita membaca sebuah rangkuman tulisan berjudul “ Apa saja mengenai Jakarta dan Betawi “ yang dikumpulkan oleh Ikatan Abang dan None Betawi Jakarta Pusat, pakaian resmi pria Betawi berupa jas panjang ( baju abang ) warna hitam atau cokelat yang panjangnya setengah paha dengan leher jas dibentuk seperti kerah baju Cina. Jas panjang ini dikenakan dengan paduan celana panjang berpotongan menyempit ke bawah. Biasanya, panjang dua jari dari mata kaki.


Sedangkan untuk pakaian remi perempuan Betawi, biasanya kebaya panjang atau kebaya none dari bahan chifon tembus pandang dan kain batik. Pengaruh Jawa tampak pada kain Pekalongan bermotif tumpal yang digunakan sebagai busana resmi perempuan Betawi. Selain kain Pekalongan, dapat pula digunakan kain dari lasem yang motifnya tak banyak berbeda dengan satu sama lainnya.


Selain pengaruh budaya Jawa dan Cina, busana Betawi juga terpengaruh oleh budaya Arab. Misalnya, terlihat pada busana pengantin Betawi. Nuansa Arab dan Cina amat kental. Sedangkan kata kebaya itu sendiri diambil dari kata “ abaya “, yakni pakaian dari Arab yang biasanya digunakan sebagai baju luar berwarna hitam. Demikian pula dengan baju kerancang, baju kerancang itu dulunya bernama baju encim. Baju ini harganya mahal dan dipakai oleh orang Cina kaya yang biasanya dipanggil encim. Sekarang dikenal sebagai kebaya encim. Meski populer dengan sebutan kebaya encim, ada juga yang menyebutnya sebagai kebaya kerancang yang memiliki bordiran bolong-bolong pada pinggiran kebaya.


Persatuan Wanita Betawi pada waktu itu, sepakat menyebutnya kebaya kerancang, karena menurut mereka, baju betawi bukan baju Cina alias encim. Style busana Betawi antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Busana Betawi memiliki ciri khas warna mencolok. Hal ini sesuai dengan karakter orang Betawi yang selalu terbuka dan apa adanya. Sedikit berbeda dengan busana kebaya tradisional Jawa yang didominasi warna gelap.


Dalam perkembangannya busana Betawi terus mengikuti tren dan perkembangan mode. Fleksibelitas itu memudahkan orang yang menyukai warna hitam atau warna kalem dan selalu ingin memakai baju Betawi. Belakangan ini mulai banyak bermunculan pakaian Betawi dengan warna pastel dan silver, sesuai dengan perkembangan zaman maupun perkembangan mode. Untuk perempuan muda, biasanya mengenakan busana Betawi yang disebut juga baju none. Rangkaiannya terdiri dari kebaya dengan beragam warna, kain, selendang dan kerudung. Baju ini menjadi ciri khas dalam pemilihan None Jakarta yang diselenggarakan setiap tahun di Jakarta. Sebagai pelengkap busana, dikenakan kerudung, selendang dan selop.


Busana perempuan Betawi biasanya menggunakan bahan yang tipis dan transparan. Kendati demikian, pemakainya merasa nyaman-nyaman saja, karena mereka memakai kutang panjang sebagai baju dalam. Penggunaan kutang panjang ini sebenarnya tidak wajib dipilih alias bisa disesuaikan dengan perkembangan mode busana mutakhir.


Busana putra Betawi atau pria betawi juga mengenal model sadariah, baju koko, baju kampret, baju abang dan baju demang. Baju abang dan baju demang ini termasuk busana hasil reka cipta Betawi baru. Pengaruh budaya luar pada baju Betawi amat kental. Pada baju sadariah yang seringkali dipilih sebagai alternatif pengganti jas misalnya , ada nuansa Arab dan cina melayu. Seperti halnya jas, Betawi memiliki baju demang yang sering dipakai dalam acara-acara resmi. Baju demang ini berupa jas tutup yang seringkali dikenakan Gubernur DKI Jakarta dalam acara-acara resmi Betawi. Model ini antara lain dipengaruhi Belanda kolonial. Selain baju sadariah dan baju demang, dikenal juga pakaian jawara. Alas kaki untuk jawara biasanya terbuat dari bahan karet dan memiliki multifungsi, selain untuk pelengkap busana, terkadang digunakan pula sebagai alat untuk berkelahi.


Konon, pelengkap busana jawara lainnya juga berfungsi sebagai alat bela diri. Misalnya selendang dan cincin dengan mata dari batu berukuran lumayan besar. Adapula kuku macan berupa gading kecil yang ditempelkan di kancing baju yang dipercaya mengandung kekuatan magic. Bagi tokoh agama, busana yang dikenakan misalnya kain sarung dan kopiah. Untuk atasnya, dikenakan pakaian sadariah. Kalau ingin tampil santai tanpa jas, mereka memilih sadariah yang berbentuk jas.


Bila pergi ke acara pernikahan, pria Betawi memakai kain serebet dengan setelan jas. Sampai sekarang, kain serebet masih menjadi favorit pilihan pria Betawi saat menghadiri acara pernikahan. Perkembangan busana Betawi menunjukkan bahwa busana Betawi mengikuti tren dan perkembangan mode, akan tetapi tetap mepunyai ciri khas dan memiliki jatidiri dari busana Betawi itu sendiri.


Ini kepentingan bersama, maka semua kalangan masyarakat etnis Betawi diajak memperjuangkan keberadaan etnis Betawi. Tradisi dan budaya Betawi telah lama termarjinalisasi di tengah Metropolitan Jakarta Raya sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia dan ibukota Provinsi DKI Jakarta. Alahasil, kegiatan seni dan budaya Betawi selama ini juga tidak berkembang karena terbentur antara lain pendanaan, sementara pembinaan yang diharapkan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak berjalan. Padahal, keberadaan seni dan budaya Betawi, termasuk perkembangan busananya sepatutnya berkembang seperti etnis lain. Masa budaya di kampung sendiri tidak hidup, sepatutnya pemerintah memperhatikan perkembangan budaya warga Betawi. Untuk itulah, Pemerintah Daerah DKI Jakarta nanti harus mengakomodasi pengakuan etnis Betawi dan menjamin pengangkatan harkat dan martabat masyarakat adat jika tidak menghendaki budaya etnis Betawi lenyap ditelan arus perubahan zaman yang sudah mengglobal. Kalau tidak perkembangan budaya Betawi khususnya busana akan lemah sekali.


Rencana pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi perlindungan masyarakat adat akan menguntungkan posisi nasional etnis Betawi di dalam memperoleh hak-hak tradisionalnya. Karena itulah, dibutuhkan inventarisasi keberadaan masyarakat adat Betawi di Jakarta dengan melacak legitimasi dan inventarisasi masalah mereka. Peluang perlindungan itupun juga ada di konstitusi. Legitimasi keberadaan masyarakat adat Betawi dapat dilacak dari sejumlah peraturan daerah yang pernah dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta atau dokumen rencana jangka pendek dan jangka panjang Pemprov DKI Jakarta. Setelah itu, menginventarisasi masalah masyarakat adat Betawi, terutama bidang pertanahan dan pendidikan. Supaya dapat diterima dan memperoleh justivikasi, diusulkan dilakukannya sosialisasi dan pendekatan kepada para anggota DPR dan DPD, pengawasan terhadap organisasi masyarakat etnis Betawi. Kita perlu menyiapkan diri untuk mengambil kesempatan mempertegas masyarakat adat Betawi.


Pengakuan dapat diikuti dengan pengalokasian dana kompensasi kepada etnis Betawi sekitar 2,5% dari total APBD yang mencapai Rp 20 triliun. Jadi akan sekitar Rp 500 miliar dana kompensasi untuk pendidikan, ekonomi, dan budaya. Pengakuan terhadap etnis Betawi sudah tercakup mutlak dalam persyaratan berdirinya sebuah Negara, karena Betawi merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat Indonesia. Karena itu, pemerintah tidak perlu mempertanyakan kembali eksistensi etnis betawi karena sudah menyatu dengan cita dan semangat kebangsaan Indonesia sebagaimana dirintis Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Yang dihadapai masyarakat Betawi sekarang, ialah pemahaman di kalangan pejabat pemerintah pusat dan daerah terhadap keetnisan Betawi. Kebulatan tekad masyarakat Betawi harus digelorakan kembali dalam memperjuangkan hak-hak tradisionalnya. Alokasi dana kompensasi tersebut, harus mengacu kepada APBD DKI Jakarta sebagaimana digariskan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Tuntutan pemberian alokasi hanya dapat digolkan ke dalam anggaran yang dalam nomenklatur APBD tidak dikenal pos dana kompensasi. Ini jelas sulit, karena membutuhkan good will pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jika pos dana kompensasi dapat digolkan, akan dianggarkan untuk bidang pendidikan anak-anak atau pemuda-pemudi etnis betawi. Harus ada tuntutan agar alokasi APBD untuk pendidikan mencontoh etnis Melayu di Malaysia. Ini membutuhkan keputusan politik. Dana kompensasi untuk masyarakat adat dimungkinkan sebagai konsekuensi pengakuan keberadaan mereka. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merumuskan alokasi dana kompensasi setelah setiap masyarakat adat melaporkan masalah masing-masing. Setelah laporan masuk, pemerintah bisa berbuat untuk masyarakat adat dengan memanfaatkan dana kompensasi tersebut.


Untuk membangun citra Betawi agar benar-benar baik di mata kalangan masyarakat lainnya, orang Betawi sendiri tentu harus menunjukan bukti. Pemprov DKI Jakarta juga perlu lebih serius melestarikan budaya Betawi, sebagai warna asli Ibukota. Indentitas lokal budaya Betawi dianggap sebagai nilai-nilai luhur orang-orang betawi, sehingga ciri-ciri lokal tersebut ditanamkan kepada anak-anak di Jakarta sejak mereka duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.


Budaya Betawi perlu dilihat melalui perspektif kultural sebab tidak sedikit nilai-nilai luhur kebetawian yang patut ditampilkan ke pentas nasional bahkan internasional dan diperkenalkan sebagai promosi kepariwisataan Jakarta. Untuk itu, perlu dirumuskan kembali strategi kepariwisataan yang lebih holistic dan membumi dengan tetap mengikutsertakan nilai-nilai kebetawian dalam promosi sadar wisata. Kesadaran terhadap “local genius” (identitas lokal) kebetawian sudah semestinya ditanamkan kepada masyarakat Jakarta, paling tidak sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah dan tinggi. Akan tetapi mengingat makna “local genius” kebetawian adalah ciri-ciri lokal atau identitas lokal yang bertahun-tahun telah dianggap sebagai nilai-nilai luhur orang Betawi, tidak berlebihan rasanya jika ciri-ciri lokal tersebut ditanamkan kepada anak-anak di Jakarta sejak mereka duduk di sekolah dasar himgga perguruan tinggi.

Di sejumlah sekolah-sekolah di Indonesia sudah memasukkan muatan lokal dalam kurikulum daerah tersebut, antara lain dengan memasukkan budaya dan bahasa lokal sebagai salah satu mata pelajaran bagi peserta didik. Karena itu, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan identitas lokal kebetawian dalam muatan lokal kurikulum di sekolah-sekolah di Jakarta.


Tanpa kepedulian pada identitas lokal kebetawian, dapat diramalkan fondasi kepariwisataan Jakarta hanya berputar pada hal-hal fisik belaka yang makin lama makin hilang kekhasannya. Dengan mendirikan Pusat Studi Betawi untuk menunjang pelestarian budaya Betawi sekaligus mendukung program pariwisata yang bersifat identitas lokal. Selain bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi, agar masyarakat dapat lebih mendalami budaya Betawi untuk kepentingan promosi industri pariwisata. Pembentukan Pusat Studi Betawi diyakini akan mampu mengembangkan budaya Betawi di antara budaya-budaya dari daerah lainnya.


Pusat Studi Betawi dapat mencari dan menemukan keunggulan atau nilai lebih budaya ini sehingga pada saatnya nanti menjadi pilihan masyarakat untuk menjadikan sebagai nilai-nilai positif yang ada pada kebudayaan ini. Keunggulan dan nilai-nilai positif ini nantinya bisa menjadi sarana pendukung bagi perkembangan industri pariwisata di DKI Jakarta dan Indonesia.Apalagi dilihat dari sudut pandang perkembangan dalam dunia mode, busana Betawi tidak ketinggalan jaman jika berkembang sesuai dengan tren mode yang sesuai, asalkan tidak meninggalkan ciri khas dan jatidiri dari busana Betawi itu sendiri.(dns)***

l wi pada sekitar tahun 1975 yang disebut sebagai titik balik kemunculan Betawi. pada mal, dala

Kamis, 04 Maret 2010

AIR MATA


Kau buat aku merana

Menanti peluh air mata

Tersiksa dan teraniaya

Aku tak sudi mengeluarkan air mata


Kau ciptakan lara

Hadir dengan makna derita

Cemari darah dengan nila

Air mata takkan berubah


Kau lukai tubuhku

Kau cabik-cabik hatiku

Kau nodai aku

Hanya darah dan rintihan yang kau dapatkan


Air mata ini hanya untuk taman hati

Mengalir deras mengikis emosi

Pelepas dahaga sang suci

tetap sadar dalam sunyi dan sepi

Menulis Bisa Menjadi Sumber Penghasilan

Apakah menulis bisa sebagai sumber penghasilan? Sebelum kita menemukan jawaban yang kita inginkan, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apa yang menjadi modal penulis bila ingin keterampilan ini menjadi sumber penghasilan.

Menulis memang menuntut ketrampilan. Itu artinya untuk menjadi penulis terampil, tidak dibutuhkan topangan bakat hingga seratus persen sebab keterampilan bisa dipelajari. Tanpa adanya kemauan dan latihan serius, jangan harap keterampilan itu menemukan wujudnya. Juga, jangan percaya jika ada yang menegaskan bahwa menulis itu gampang. Dalam kacamata pragmatik, menurut saya, menulis itu sukar. Pasalnya, bila kita pertalikan dengan wacana komunikasi antarbudaya, seorang penulis mestilah paham situasi dan kondisi budaya pembacanya. Andai tidak, ia akan mengalami gagap komunikasi.

Bakat bukanlah unsur dominan dalam kinerja seorang penulis. Bakat seperti kita ketahui memang penting, sebab ia akan memperlancar kinerja seseorang. Namun, dalam tautan ini, dunia kepenulisan bukanlah dunia gelap yang tidak bisa dipelajari. Asalkan kita tahu kiat dan strateginya, dunia penulisan sangatlah transparan. Penulis berbakat alam pada suatu saat akan mengalami kemacetan produksi karena ilhamnya akan habis. Sebaliknya, penulis yang rajin belajar, rajin membaca – baca teori sastra, akan segera mendapatkan ilham berlebih apabila sedang macet. Hal ini tentulah mudah kita pahami. Pada saat kehabisan ilham, secara teoritis penulis sudah paham bagaimana cara membuat tokoh, menjalin peristiwa, atau melukiskan latar. Jadi, dari sudut kinerja kepenulisan, penulis tidak pernah kehilangan ilham. Bahkan penulis justru piawai menciptakan ilham. Selain itu kita juga perlu memahami karya satra sebagai sistem formal. Pemahaman ini kiranya patut digarisbawahi, mengingat masih banyak diantara kita yang menganggap karya satra sebagai karya yang tidak ilmiah. Karya satra, menurut asumsi sebagian orang, adalah karya imajinatif yang karena itu, boleh ditulis seenaknya. Karya satra seolah terwujud tanpa sistem formal.

Karya sastra, mengandung sejumlah unsur yang sistematis. Unsur ini antara lain tokoh, alur, dan latar. Berdasarkan ramuan unsur tersebut, si penulis membuat karangannya: bagaimana ia memainkan tokoh rekaannya itu di dalam jalinan peristiwa (aluran); dan, bagaimana ia memagari peristiwa tersebut di dalam suatu tempat, waktu, dan suasana (lataran). Ramuan ini membentuk sebuah sistem formal yang tentu saja saling berkait dukung – mendukung, membentuk sebuah kebulatan dan keutuhan yang bernama karya sastra. Jadi, melihat kenyataan ini, mudah – mudahan kita tak apriori lagi terhadap keilmiahan karya sastra.

Bertautan dengan hal di atas, kita sering melihat banyak karya ilmiah - skripsi mahasiswa dan disertasi kandidat doctor – yang ditulis secara kacau. Pokok pikiran dalam alinea tidak terfokus, tidak santun dalam penggunaan ejaan, dan sangat tidak efektif dalam merangkai kalimat. Hal ini , memang, tidak serta merta mencerminkan bahwa si penulisnya bodoh. Namun, dalam wacana akdemik, kekacauan ini membuktikan adanya sistem yang macet. Kemacetan semacam ini, di dalam pandangan psikolinguistik, biasanya disebut dalam istilah kesalahan kompetensi, yakni kesalahan yang dipicu oleh ketidaktahuan seseorang terhadap pengetahuan teoritis kebahasaan. Nah, kalau begitu, apakah kekacauan tersebut juga berkaitan dengan soalan bakat menulis? Karya ilmiah atau karya sastra , saya rasa sangat berhubungan.

Lima kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya sebagai penulis, yang masing – masing kebutuhan ini akan aktif apabila kebutuhan yang lebih rendah akan terpenuhi, yaitu:

1. Kebutuhan pemuasan dari, yakni hasratnya dalam menumbuhkembangkan segenap kemampuan dirinya; hasrat untuk menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri; hasrat menjadi apa saja yang paling tinggi menurut kemampuannya.

2. Kebutuhan ego, yakni berkaitan dengan harga diri atau kehormatan diri seseorang (percaya diri, prestasi, kemandirian, wawasan pengetahuan, keberhasilan, atau kebebasan berpendapat), bertalian dengan penghargaan diri orang lain atau reputasi (pengakuan, nama baik, prestise, status, gelar, atau kedudukan). Memotivasi diri menulis via kebutuhan ini, setidaknya akan memunculkan tulisan ilmiah.

3. Kebutuhan sosial, yakni memotivasi diri sendiri untuk menulis, jika dipangkalkan dari kebutuhan ini, akan memunculkan tulisan bertopik sosial – kemasyarakatan.

4. Kebutuhan rasa aman, yakni memotivasi diri menulis pelbagai topik yang berkaitan dengan aspek human interest.

5. Kebutuhan fisiologis, yakni membangun motivasi dalam menulis melalui topik yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.

Mengingat motivasi menulis tidak bersifat relatif, dan mengingat motivasi tersebut bisa diidentifikasikan dengan kebutuhan pembaca, maka bisa dikatakan bahwa memproduksi tulisan pada hakikatnya selaras dengan layanan adab. Layanan adab adalah layanan terbaik yang diberikan seseorang yang berwenang kepada orang lain yang membutuhkannya. Dalam pemahaman ini, yang berwenang itu adalah sang penulis dan yang membutuhkannya adalah pembaca dan dapat diraih memfokuskan pada hal – hal berikut:

1. Obsesi terhadap kualitas yang memuaskan pembaca, karena penentu kualitas tulisan adalah pembaca

2. Berwawasan akademik, yakni penulis yang baik adalah mereka yang gemar memperluas wawasan, mau menerima kritik, anti penjiplakan, logis, gemar berlatih, dan jenaka.

3. Budaya menulis, yakni memiliki budaya menulis, terlebih jika menganggap diri intelek, sangatlah penting.

4. Kemitraan.menulis membutuhkan sejumlah pihak pendukung, seperti sahabat karib, perpustakaan, warung penjual Koran. Peliharalah kemitraan yang telah terjalin dengan baik.

5. Pelatihan, yakni sebagai penulis berkualitas, dan barangkali berbakat, hendaknya kita jangan pernah berhenti belajar, dan apapun yang pada dasarnya akan terus memperbaiki kinerja tulis – menulis kita.

Dan kepenulisan adalah proses mempengaruhi pikiran para pembaca untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Analogi ini tentu saja makin memantapkan keyakinan bahwa eksistensi penulis sama dengan pemimpin atau manager. Oleh karena berpautan dengan proses pengaruh – mempengaruhi, sudah seyogyanya kita mesti memahami jenis – jenis kepenulisan. Menurut hemat saya, berdasarkan gaya pengucapan, jenis kepenulisan dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Kharismatik dan nonkharismatik yang menjadi perbedaannya adalah dari kehangatan, dan kualitas pemilihan pokok pikiran tulisannya yang prima. Sedangkan nonkharismatik biasanya berkesan dingin.

2. Otokratis dan demokratis. Penulis otokratis terkesan angkuh, sedangkan penulis demokratis terkesan persuasif dan cenderung mendorong pembaca kepada hal – hal yang positif.

3. Visioner dan manipulator. Penulis yang visioner cenderung mampu memberikan inspirasi kepada pembacanya, sedangkan penulis yang manipulator bergaya tegas, kasar, berkesan asal tulis, dan penuh dengan hujatan dan fitnahan.

Jenis kepenulisan tentulah berpeluang pada diri kita sendiri, yang harus mempunyai prinsip seorang penulis efektif, yaitu

1. Kenalilah diri kita, sebab sangat penting untuk mendongkrak kualitas dari tulisan kita. Seperti mampu menjalin kemitraan dengan sejumlah pihak, bisa bersikap tegas, memiliki imajinasi dan kejenakaan, memiliki niat, kemauan dan kemampuan analitis, mampu mengubah gaya kepenulisan demi menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2. Mengenali situasi dan kondisi kita. Via kekuatan dan kelemahan tersebut kita menggunakan daya analitis untuk memahami situasi dan kondisi kepenulisan, baik internal maupun eksternal.

3. Memilih gaya yang selaras dengan situasi. Gaya kepenulisan bisa dipilih setelah kita sukses mengenali diri dan memahami situasi.

4. Memuasi kebutuhan pembaca, yakni perkembangan pokok pikiran yang pernah ada.

Juga dalam menggunakan kata – kata harus sesederhana mungkin agar tidak mengaburkan makna dari tulisan, menggunakan kata – kata yang sudah dikenal akrab oleh pembaca, dan gunakanlah kata – kata dengan makna yang pasti.

Dengan begitu pembaca akan terhibur dan kagum membacanya, jelas bahwa penulis mempunyai ciri – ciri:

1. Memahami benar – benar visi tulisannya dan sekaligus mampu menentukan misi untuk pembacanya.

2. Mampu menyusun bagan atau struktur organisasi tulisannya berdasarkan visi dan misi-nya.

3. Memahami cara mengeskpresikan dirinya dengan baik, berlandaskan pada asas kalimat efektif dan kesantunan ejaan.

Seorang penulis harus terampil dan cakap dalam berbahasa, makin cerah dan terang pula jalan pikirannya. Atau, seperti yang ditegaskan para filsuf, bahasa adalah jendela hati, yang dapat dianalogikan dengan keterampilan berbahasa alias aktivitas terbaik dalam berbahasa yang mesti dilakukan penulis.

Keterampilan berbahasa mempunyai empat unsur pendukung, yakni keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Tiap unsur ini , selain bersinergi, juga rapat bertalian dengan proses – proses yang mendasari bahasa.

Pasalnya, bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Atau, dalam ungkapan lain, pikiran yang kacau berimbas pada keterampilan berbahasa seseorang.

Oleh karena itu, jika kita kembali ke soal apakah menulis bisa sebagai sumber penghasilan atau tidak? Saya rasa dengan penjelasan yang menjelaskan tentang keterampilan menulis yang bisa dikuasai jika seseorang mempunyai niat, memiliki daya imajinasi, dan rajin berlatih maka penulis akan sukses dalam tulisannya. Tidak percaya? Koran atau TV dalam dunia jurnalisme mempunyai efek menyentuh dunia bisnis dan kalangan perguruan tinggi. Menyusun laporan, proposal, dan notula rapat serta menulis skripsi, tesis, atau disertasi misalnya, adalah imbas dari efek ini. Dampaknya sangat signifikan: ukuran profesional – tidaknya seorang pebisnis (juga penulis) atau seorang akademikus dewasa ini dilandaskan pada cakap tidaknya ia menulis. Contoh ini bisa diteruskan. Namun apapun contoh itu, yang jelas jurnalism effect ini didukung oleh bahasa. Pasalnya bila aktivitas tulis – menulis dijadikan budaya sejak dini, ia akan membuat seseorang mampu berpikir nalar dan sekaligus mampu berimajinasi. Imajinasi, kita tahu, adalah unsur penting yang memicu tumbuhnya perilaku humanistic seseorang. Implikasinya adalah mengenal Bahasa Indonesia secara baik dan benar menjadi hal yang penting dan perlu di perhatikan, khususnya oleh para penulis yang ingin menulis dan tulisannya dapat dijadikan sumber penghasilannya. Tanpa itu semua yang telah di uraikan, tidak akan ada hasilnya. Tetapi dengan itu semua??? Selamat mencoba dan buktikan sendiri!!! (dns). Sumber: Otonomi Bahasa (Wahyu Wibowo)