Minggu, 28 Februari 2010

Suara Mimpi

Mimpi itu datang lagi...
seolah tak mau kalah
dengan mimpi indah yang lalu

Ku terbangun dari tidur malam ini...
Mimpi itu seakan nyata

Takut...
ku coba meraba dinding sisi tubuh

Ku dengar suara itu memanggil...
aku ingin ikut...tapi kaki seakan berat...
ku coba mengangkat...ku tak sanggup

Suara itu datang lagi...
kali ini lebih dekat...
hati ini bergetar

Aku ingin ikut...tidak, di sini saja!
tapi ingin ikut...sesak dalam dada ini
ku ingin menjerit...aku tak sanggup lagi meraba
terseok dan terluka dalam lorong gelap dan panjang

Aku ingin ikut...
berjalan dalam terangan
tak lagi terluka

Aku tak ingin berjalan dalam kecut
dalam kamar bedah yang lembab dan remang

Tapi jangan jadikan aku pengecut
oleh pisau bedahmu tanpa dibius...

Dan aku ingin ikut...untuk merdeka.

Muak dan Sumpek

Aku mau pergi...
kamar ini begitu sumpek
begitu menghimpit
seakan menjepit hingga sesak

Aku mau pergi...
sekonyong-konyong badut-badut keluar
mengolok dan mentertawakan

Aku hanya diam...
yang ku ingin...
aku mau pergi...

Mencari savana subur nan hijau yan hilang
aku mau pergi...

Darah ini keluar begitu deras...
sakit...perih...rasa tersayat...
seperti mau keluar isi perut

Aku mau pergi...
mencari savana subur nan hijau yang hilang.

JAM BEKER Pengganggu Tidur Bagi Yang Malas



Pulang ke rumah adalah hal yang sangat menyenangkan pada saat minggu tenang, banyak makanan yang bisa dilahap sepuasnya tanpa harus membayar. Kalo kate para Jawara “Golok kalo ga ade sarungnye bisa ancur”. Sama seperti manusia bila nggak punya “rumah” bisa berantakan hidupnya. Kumasuki Kamar tempat gue kerja and tidur yang udah sebulan ini ngga pernah ditengok-tengok. Pintu dari kayu jati yang dipenuhi oleh stiker-stiker kegiatan alam bebas kubuka. Di dalamnya terdapat seperangkat komputer, tempat tidur mungil, lemari pakaian yang sekaligus dijadikan tempat naro perlengkapan dan alat pendakian, dinding yang dipenuhi ama lukisan dan foto-foto gue di puncak gunung, trus ada juga perpustakaan kecil gue yang bukunya didapet dari beli, foto kopi, dikasih oleh orang lain.


Aroma final test sudah menyengat baunya, minggu tenang yang diberikan pihak kampus pada umumnya untuk merileksasikan diri, terasa tidak setenang hembusan angin di Lau Kawar, dikarenakan kupakai untuk mengerjakan paper yang dikejar deadline. Pikiranku jauh melayang bukan karena terbuai oleh bahan-bahan paper yang menumpuk juga bukan karena mempelajari materi untuk ujian nanti, tapi justru membayangkan acara liburan semester yang akan digunakan untuk mendaki G. Semeru.


Ujian pertama besok udah dimulai yaitu hari Senin pukul 09.00, ya Senin yang kata orang kantoran adalah hari yang sibuk. Untuk ngingetin ada ujian pagi besok, gue setel aja jam beker (jam yang bunyinya berisik seperti nenek-nenek belum nyirih) biar bunyi pukul 05.30 karena udah tengah malam gue belum tidur juga dikarenakan masih ngerjain paper yang terakhir dari beberapa paper yang ditugaskan.


Gue jadi inget cerita Bokap (Lagi Do’I masih SD) di mana pada saat itu ga punya jam beker. Gimana mau beli jam beker buat bayaran sekolah aja susah banget, maklum taon 50-an semuanya serba ruwet (emangnya sekarang ga ruwet apa!?!). Dulu pengen bangun pagi biar ga terlambat sekolah atawa ga telat Ujian ngga pake jam beker tapi pake suara ayam jago nyang nyaring bunyinya “Kukuruyuk” kalo ga “Kongkorongkong”(ayo nyang bener mana?). Lentingan suara yang pertama menandakan sekitar pukul 02.00-03.00, dimana biasanya ngingetin orang yang beragama Islam untuk ngelakuin solat tahajud, dan juga pada bulan Ramadhan untuk ngingetin buat sahur. Lentingan berikutnya menandakan sekitar pukul 04.00-05.00 yang biasanya nandain imsak atau subuh.


Bokap dulu gunain lentingan suara ayam jago (ada ape Ayam Jago yang ga jago?) yang kedua. Kalo tuh Ayam udah mulai berkicau (eh salah ye, mengaum kali ye yang bener) untuk session yang keduanya, maka siap-siap deh untuk cabut ke sekolah yang jaraknya cukup jauh yaitu dari desa ke kota kecamatan (Jangan dibayangin kelamaan!!).


Bokap gue udah dibangunin ama tuh bunyi suara ayam disaat nyamuk-nyamuk udeh pada kenyang, hembusan angin lagi dingin-dinginnya, suara binatang malam udah mulai cape. Bokap trus mandi, sarapan, baca buku lagi, and pokoknya banyak yang dilakuin deh, abis itu ngambil sepeda di dapur dan langsung ngacir. Perjalanan untuk ke sekolah lumayan jauh dan keren, turun naik bukit dengan udara dingin, ngelewatin hutan yang pinggirannya dipenuhi pohon jati dan jalan tanah licin karena dibasahi oleh embun. Kadang kalo sepeda ga bisa dipake, Bokap terpaksa jalan kaki.


Lagi enak-enaknya genjot sepeda (kalo masih ada tuh sepeda masuk museum kali) tiba-tiba terdengar suara menggelegar DUARRR!! Ternyata ban sepedanya meledak, tapi masih untung coba bayangin kalo betis yang meledak karena kelamaan genjot. Kejadian inilah yang sangat menyesakkan hati karena jarang Bokap mendapat uang jajan biasanya palingan bawa bekel makanan aja, terpaksa deh tuh sepeda dituntun.


Setelah sampai halaman sekolah ternyata masih gelap, gerbang sekolah pun yang terbuat dari bambu masih tertutup. Kemudian dibukanya gerbang itu, masuk agak ke dalam dilihatnya pintu-pintu kelas masih rapat terkunci seakan mengumpat dari dinginya udara. Bokap berpikir nggak mungkin salah, hari ini adalah Senin nggak mungkin Minggu, tapi kok nggak ada siapa-siapa. Ada apa gerangan? Bokap berjalan menuju ke rumah penjaga sekolah melewati lapangang kecil yang biasa dipakai buat upacara atau olahraga, di pinggirannya dipenuhi oleh tanaman hias. Diketuknya pintu rumah penjaga sekolah, tak lama orang dengan perawakan agak tua yang rambutnya mulai disisipi oleh uban pun keluar, orang tersebut masih mengenakan sarung dengan kaos tidurnya plus kupluk.


Pria itu bertanya “Ada Apa Jang”? Bokap malah balik bertanya karena bingung “kok sepi mang pada kemana nih”? “Ha…Ha…Ha…, ya iyalah masih sepi inikan baru pukul 05.30, sekolah belum buka jang”. Ternyata Bokap baru sadar bahwa panggilan ayam tadi adalah panggilan pertama yang munjukan pukul 03.00. Kemudian dengan lemas Bokap hanya memandangi Sepeda yang bocor bannya.


Ah itu kan hanya cerita Bapakku saja, untung sekarang gue punya jam beker. Kecapaian membuat paper akhirnya aku terlelap padahal paper tinggal diprint aza. Krriiing!!!! Jam beker berbunyi menunjukkan pukul 05.30, ah masih lama, Aku setel lagi dengan cepat pada pukul 06.30. Krriiing!!! Jam beker berbunyi untuk kedua kalinya dan sebelumnya Ibuku udah ngingetin “Jang Ujian ga, katanya ujian pagi, Ibu mau ke pasar nih tuh ongkosnya di meja kalo mau sarapan bikin aja sendiri”. Ah ganggu aja pikirku tanpa mempedulikan lagi, sambil kembali lanjutkan tidurku karena kecapaian. Matahari merambat pelan masuk melewati celah-celah ventilasi kamarku membuat mataku terbuka kucari jam bekerku kuraba-raba dengan pengeliatan masih samar akhirnya dapat juga dan setelah dilihat dengan sebelah mata ternyata menunjukkan pukul 07.45. Waduh terlambat ujian bisa ga lulus lagi nih masa ngulang lagi sih. Tanpa mandi hanya menggosok gigi dan membasuh muka segera kuambil Day Pack yang di dalamnya sudah lengkap untuk kebutuhan ujian dan tak lupa paperku.


Perasaan cemas udah dimulai saat menunggu mikrolet yang lama sekali datangnya, sekalinya ada penuh, yah terpaksa gantung di pinti mikrolet, untung cuek. Rasa cemas datang lagi waktu menunggu kereta listrik yang lama datangnya, kulihat jam menunjukkan pukul 08.15, dalam hati ngedumel, “ah seandainya motorku gak turun mesin, gue belah nih jalanan paling cuma 30 menit nyampe kampus”.


Akhirnya sampai juga, turun dari kereta kulanjutkan dengan mikrolet kemudian setalah sampai gerbang kampus langsung kutuju blok IV dengan kecepatan penuh. Wah ternyata hanya tinggal beberapa mahasiswa saja, itu pun sedang melangkah untuk mengumpulkan kertas jawaban. Waduh ga lulus lagi deh……..Krriiing!!!! Jam beker berbunyi menunjukkan pukul 05.30 membangunkanku dari tidur, Ah untung hanya mimpi, ganggu aja lo, aku setel kembali dengan cepat jam beker kerah pukul 06.30. Krriinnggg!!!! Jam beker berbunyi kembali untuk kedua kalinya dan sebelumnya Ibuku udah ngingetin “Jang Ujian ga, katanya ujian pagi, Ibu mo ke pasar tuh ongkosnya di meja kalo mo sarapan bikin aja sendiri”. …… Ah ga boleh orang istirahat apa, tanpa mempedulikannya kulanjutkan tidurku…….zzzz…zzzz…zzzz…

3 Hari Mencari Keinginan



“Untuk mereka yang telah menemukan,

kehilangan,

dan belum mendapatkan suatu keinginan,

semoga Yang Maha Esa

memberikan apa yang mereka inginkan”


Seorang pria duduk di antara tumpukan gelondongan pohon yang baru ditebang di taman kampus, pria tersebut adalah Iwan mahasiswa yang memiliki hobby bertualang dan mengkonsumsi jengkol, yang menurut dia dapat menambah nafsu makan. Melihat raut wajahnya yang mungil dan imut, seperti ada yang mengganggu pikirannya hingga dia nampak resah dan gelisah.


“Aaah” (gedebuk), seketika Iwan beranjak dari duduknya seperti telah mendapatkan solusi dari keresahan yang sedang dialaminya, dan seketika itu pula tubuh Iwan yang mungil itu terpelanting ke belakang karena kaget. Melihat Iwan terjatuh maka orang-orang yang berada di sekitar taman pun mentertawainya, karena merasa malu Iwan lari secepat kilat meninggalkan tawa yang semakin deras, sederas ombak yang melempar buih ke bibir pantai.


Hari ini Iwan tidak seperti biasanya, keceriaannya seolah terkikis oleh resah, jiwanya galau seperti anak ayam yang jauh dari induknya. Melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul 14.15 kegalauan itu semakin menjadi, menyelimuti diri, memperkosa konsentrasi, hingga perasaan untuk meninggalkan ruang kuliah secepatnya terus menggebu-gebu.


“Pak, maaf”. dengan menunjuk tangan Iwan memotong pembicaraan dosen, “ya, ada apa denganmu”? Jawab dosen yang memberikan kesempatan Iwan untuk proaktif. “ada tugas tidak? untuk menambah nilai” dan ketika itu pula “tit..it… tit..it…(2X)” suara HP nokia 2500 miliknya berdering tanda SMS masuk. Perlahan Iwan mengambl Hp nokia 2500, dari dalam tas dan mematikannya.


Mendengar suara HP yang mengganggu konsentrasi mengajar pak dosen langsung menegur Iwan “Lain kali kalau masuk kuliah matikan HP, tugas akhir bagi kalian adalah menulis bebas dengan topik jengkol”. Sambil melihat waktu, dosen pun mengakhiri perkuliahan. Iwan langsung mengambil dan menyalakan HP, lalu Ia membuka SMS dari seorang teman bernama Atmo, “Wan, keangklingan pak Sandy sekarang, sebelum jengkolnya habis”! setelah membaca pesan, Iwan mengambil langkah seribu menuju angklingan yang terdapat di depan gerbang kampus. Namun keberuntungan belum berpihak padanya, angklingan pak Sandy yang sejak tadi siang ramai dikunjungi mahasiswa telah tutup, karena dagangannya telah habis terjual. Iwan menghampiri pak Sandy, “pak, besok sisain saya semur jengkol ya”! dengan suara lirih dan berharap belas kasihan, berkata pada pak Sandy yang sedang menyapu jalan. Dengan tersenyum pak Sandy menatap wajah Iwan, “nak Iwan disisakan semur jengkol berapa bungkus”? Sambil tersenyum malu Iwan berkata, “satu bungkus pak, 2000an aja, nih duitnya”. Dengan nada ramah pak Sandy menanggapi, “sudah duitnya besok saja, kalau nak Iwan sudah menerima semur jegkolnya”. “Terima kasih, pak”. Sahut Iwan sambil meninggalkan angklingan dengan senyum dan harapan besok Pak Sandy akan membawakan pesanannya.


Ketika sedang berjalan menuju gedung kampus, “Wan…” teriak Atmo yang sedang asik menikmati kopi hitam di bangku taman. Iwan menoleh, berjalan menuju Atmo dengan langkah gontai, seperti orang yang kehilangan hasrat hidup, “gimana, jengkolnya enak gak”? Dengan nada sendu Iwan menjawab, “boro-boro makan, ngeliat juga nggak”. Atmo langsung tertawa geli sambil menawarkan rokok gudang garam filter, yang memang menjadi rokok kesukaan mereka berdua.


Melihat sahabatnya yang sedang diselimuti keresahan, Atmo berusaha menjadi pelipur lara dan berkata “setelah menyantap semur jengkol pak Sandy, rasa-rasanya hidup menjadi lebih bergairah, karena aroma dan rasanya tidak mudah hilang”, dengan sedikit tersenyum Atmo melirik ke arah Iwan. “Ngeledek ya”? Besok gue borong jengkolnya, biar lo nggak kebagian”, dengan kesal Iwan menjawab guyonan Atmo, dan menghisap rokok hingga asapnya menyelimuti hati.


Malam hadir bertaburkan bintang, pesonanya membuat kagum setiap mata yang memandang, hingga tak ada yang sudi untuk mengedipkan matanya sedetikpun. Malam itu bintang membagikan setiap pecahan cahayanya pada semua insan, tetapi cahaya itu tidak sampai pada kamar kos Iwan yang tertutup rapat.

Malam itu memang sangat indah, tetapi malam itu adalah malam ketiga bagi Iwan untuk tidak dapat merasakan nikmatnya semur jengkol pak Sandy, malam itu Iwan hanya dapat menghirup bau jengkol yang keluar dari nafas Atmo yang tertidur lelap dan mendengkur.


Dua hari tiga malam Iwan tidak merasakan nikmatnya semur jengkol, dua hari tiga malam Iwan merindukan nikmatnya semur jengkol, “dua hari tiga malam,” dengan kesal Iwan menaruh pena di atas kertas yang terletak pada meja computer.


Pagi itu Iwan tampak tergesa-gesa, gerakannya cepat, seperti sedang diburu. “Jam berapa sekarang”? Sapa Atmo yang mesih berbaring di kamar, “jam 11.12” jawab Iwan dengan sigap, dan ia pun lekas berlalu dari kamar menuju kampus. Angklingan pak Sandy adalah tempat tujuan utamanya, semur jengkol adalah target makanan yang telah dipesannya.


Dipandangnya angklingan pak Sandy dari kejauhan, beberapa mahasiswa telah berada di sana, menikmati hidangan sederhana yang tersedia. Iwan langsung duduk di bangku kayu yang telah disediakan. “Pak, pesanan saya mana”? Sambil mengambil sebungkus nasi, setelah menerima sebungkus semur jengkol dari pak Sandy, Iwan langsung menuangkan semur jengkol pada bungkusan nasi yang telah dibuka dan disantapnya dengan lahap.

Rabu, 24 Februari 2010

SEHIDUP SEMATI DI GUNUNG SEMERU


“ Aku ingin sehidup semati dengan kamu” . Sekali lagi ucap Toni dengan serius. “ Ih…takut aku, nggak mau ah“ . Dengan senyum agak menggoda. Toni terlihat kecewa dan Rina pun menghibur. “ Aku bercanda sayang, siapa sih yang nggak mau sehidup semati dengan kekasihnya yang tercinta“ . Toni terlihat gembira dengan ucapan Rina. Pembicaraan itu berakhir dengan saling menatap mesra dan entah siapa yang memulai adegan mesra itu diikuti pagutan-pagutan lembut yang membuat suasana bertambah indah.

Pagi yang cerah di stasiun Malang dibisingkan dengan deru lokomotif kereta Mataremaja dari Jakarta, yang kemudian penuh dengan hiruk-pikuk turunnya penumpang dari berbagai gerbong. Canda tawa mesra terlontar dari dua sejoli yang membawa ransel sarat dengan beban di dalamnya. Mereka tidak peduli dengan ratusan pasang mata yang memandang iri terhadap mereka. “Toni, istirahat di sini, sarapan dulu sebelum berangkat ke terminal”! Seru Rina sambil menarik lengan Toni. “ Oke, sarapan apa kita pagi ini“? Tanya Toni. “ Nasi rames sepertinya enak”. Toni dan Rina menuju warung nasi di pojok stasiun dekat dengan pintu keluar. Dua sejoli itu memesan dua porsi nasi berlauk telur dan tanpa menunggu lama pesanan datang, mereka menyantap dengan lahap dan tak ketinggalan canda tawa yang menghiasi acara sarapan di kota Malang. Setelah sarapan, mereka naik angkot menuju pasar Tumpang. Selama perjalanan mereka terlihat tidak kenal lelah layaknya orang setelah mengalami perjalanan jauh. Tepat waktu dzuhur mereka sampai di pasar Tumpang nan terkenal banyak dijumpai jeep-jeep menunggu para pendaki yang akan menggunakan sebagai alat transportasi terakhir menuju gunung Semeru atau terkenal dikalangan pendaki dengan nama Ranu Pane. Toni dan Rina melengkapi perbekalan mereka dengan belanja beberapa bahan makanan sebelum menuju Ranu Pane. Beberapa jam kemudian mereka tiba di Ranu Pane.

Di kejauhan Terlihat “ perkasa “ dengan medan pasirnya yang gersang sampai puncaknya. Sewaktu mengurus perizinan Toni dan Rina kecewa dengan hanya diizinkannya mendaki hingga Ranu Kumbolo, pos yang biasanya disinggahi pendaki sebelum menuju puncak, biasanya para pendaki beristirihat di sini sambil menikmati suasana indah danau yang berada di ketinggian. “Bagaimana pak, kok Cuma sampai Ranu Kumbolo“? Kerut dahi Toni ditujukan kepada petugas perizinan. “Beberapa bulan ini cuaca di gunung Semeru selalu tidak bersahabat akibat dari cuaca yang sedang pancaroba. “Baiklah pak, daripada tidak”. Toni memakai ranselnya di pundak dan meninggalkan pos perizinan dengan kecewa karena tidak dapat mendaki gunung Semeru sampai puncaknya. Rina menyusul dengan sedikit menghibur kekasihnya , “Ton, sudahlah yang penting keinginan kita tercapai, berdua di gunung Semeru walau tak sampai puncak”. Hiburan dengan disertai senyum manja Rina akhirnya meluluhkan hati Toni yang gundah, lalu dengan gemas Toni membalas senyum dan sedikit mencubit pipi Rina. Mereka berjalan beriringan, sesekali Toni menoleh ke arah Rina memeriksa kekasihnya yang selalu tersenyum bila pria yang ia cintai menatapnya dengan penuh kasih. Pemandangan indah selama perjalanan tak pernah henti, bagai film dokumenter yang tak pernah habis.

Beberapa jam mereka berjalan mereka tiba di sebuah danau yang indah, Ranu Kumbolo namanya, danau yang berada di ketinggian dan konon airnya tak pernah habis. Mereka beristirahat sejenak sebelum menuju tanjakan cinta, sebuah tanjakan panjang yang terletak di atas Ranu Kumbolo. Entah siapa dan mengapa tanjakan itu dinamai dan terkenal dikalangan pendaki dengan nama itu, konon bila sepasang anak manusia berjalan sambil bergandengan sampai ke ujung tanjakan akan menjadi sepasang kekasih yang langgeng sampai ke pelaminan, bagi yang jomblo bisa diterima kala mengutarakan perasaannya pada pasangannya. Rina mengeluarkan air mineral dan coklat sebagai teman melepas lelah dan menawarkan Toni yang sedang asyik menarik asap rokoknya dalam-dalam sambil menikmati damainya suasana alam terbuka. “Ton, minum nih, malah merokok. aku punya coklat mau nggak“? Menyodorkan sebuah bungkusan berwarna kecoklatan. “Kamu saja, aku nanti sekalian habis makan, aku minta airnya saja“. Tolak Toni dengan halus. Sambil makan coklat Rina bersandar manja kepada Toni yang sedang memikirkan sesuatu. “Rin, boleh aku mengucapkan sesuatu“? Tanya Toni serius. “Boleh, asal jangan gombal aja“, ejek Rina. “Aku serius tidak akan gombal, aku ingin sehidup semati dengan kamu“. Sekali lagi ucap Toni dengan serius. “Ih…takut aku, nggak mau ah“. Dengan senyum agak menggoda. Toni terlihat kecewa dan Rina pun menghibur. “Aku bercanda sayang, siapa sih yang nggak mau sehidup semati dengan kekasihnya yang tercinta“. Toni terlihat gembira dengan ucapan Rina. Pembicaraan itu berakhir dengan saling menatap mesra dan entah siapa yang memulai adegan mesra itu diikuti pagutan-pagutan lembut yang membuat suasana bertambah indah. Konon, tidak boleh sembarangan mengucapkan sesuatu di alam penuh dengan misteri Illahi, seperi orang tua bilang “ tabu berbicara sembarangan di daerah yang tidak kita kenal, pamali nanti didengar setan”! Adegan mesra pasangan yang sedang dimabuk cinta ini terputus setelah Toni teringat akan jadwal mereka yang harus mendirikan tenda sebelum gelap. Ranu kumbolo memang membuat para pendaki kerasan dan ingin menetap rasanya, dikarenakan suasana alam yang menyajikan kedamaian bagi siapa saja yang singgah. Tepat pukul enam mereka telah selesai mendirikan tenda dan memasak makan malam. Setelah menyantap makan malam, mereka bergegas tidur karena kelelahan bagai berjalan mengelilingi benua untuk bulan madu. Sebelum tidur Toni menyempatkan mengisi buku hariannya yang sejak mereka tiba di Malang belum sempat diisi.

Pagi yang Indah Menghiasi Ranu Kumbolo, walau kabut masih menyelimuti sekitarnya. Rina keluar tenda dan mulai menyiapkan sarapan untuk mereka berdua, Toni masih bergelut dengan kantong tidur bulu angsanya yang menahan hawa dingin gunung Semeru. Setelah sarapan siap Rina membangunkan Toni dengan kecupan mesra di kening Toni dan seraya berkata, “bangun sayang, malu nanti dengan matahari, sarapan yuk“! Toni akhirnya bangun dan melihat sarapan telah siap menantinya. Setelah sarapan Toni menyuruh Rina untuk bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati dan Rina pun terkejut. “Loh Ton, bukankah kita hanya diizinkan sampai Ranu Kumbolo”? Tanya Rina. “Sampai Kali Mati baru kita turun, oke“! Iya deh…” sahut Rina sambil tersenyum. Setelah berkemas, mereka melanjutkan perjalanan menuju Kali Mati. Kali Mati adalah pos sebelum para pendaki melanjutkan perjalanan menuju puncak Mahameru, sebelum menuju Arcopodo pos yang paling berbahaya dengan adanya jurang dan bila tidak berhati-hati maka…goodbye. Toni dan Rina berjalan beriringan dengan hati-hati, mereka berpegangan tangan, kemudian malapetaka terjadi. Rina terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang dengan kedalaman sekitar duapuluh meter, Toni tersentak kaget, “Rina…” Toni menyusul kekasihnya ke dasar jurang dengan jalan memutar dan apa yang ia dapatkan di sana? Rina tewas seketika dan Toni terpukul akan kejadian itu. Ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke pos perizinan di Ranu Pane untuk meminta bantuan dan sebelum berangkat ia merias jasad Rina denga pakaian bersih, memasak makanan dan mengelilingi jasad Rina dengan kapas dan lilin menyala, seolah bagaikan upacara kematian sang kekasih tercinta dalam kisah Romeo dan Juliet. Ia menyempatkan menulis semua kejadian dan yang ia lakukan sampai kejadian menimpa mereka. Kecupan di tangan Rina menjadi kecupan perpisahan, biasanya ia mengecup kening Rina bila ia berpamitan setelah wakuncar, tetapi itu tidak dilakukannya karena wajah Rina telah hancur terantuk batu pada saat ia terjatuh dan itu pula yang membuat Rina tewas seketika. Toni berjalan menuju Ranu Pane dengan terbayang masa-masa indahnya bersama Rina sebelum sang kekasih tewas dengan tragis. Hal itu membuat Toni tidak konsentrasi dan tergelincir jatuh terantuk batu. Toni pun tewas dengan kepala pecah.

Beberapa hari berlalu, para penjaga pos perizinan di Ranu Pane merasa ada kejanggalan, pendaki yang satu minggu lalu mendaki tak kunjung kembali dan melapor . Pendaki yang dimaksud adalah Toni dan Rina karena hanya mereka yang belum kembali sejak gunung Semeru ditutup karena cuaca yang memburuk sejak beberapa bulan yang lalu. Pihak penjaga pos di Ranu Pane akhirnya menghubungi tim SAR setempat yang langsung terjun ke lokasi kejadian dengan empat tim penyapu. Setelah beberapa jam, tim SAR akhirnya tiba di Ranu Kumbolo mereka menemukan bekas-bekas orang bermalam di sana kira-kira satu minggu yang lalu dan mereka memutuskan pencarian menuju kali mati dengan berharap menemukan yang mereka cari. Beberapa saat kemudian jasad Toni ditemukan dan langsung dibawa turun oleh satu tim, sisanya melanjutkan pencarian jasad Rina yang tidak diketahui masih hidup atau sudah mati. Jasad Toni mudah ditemukan karena tidak jatuh ke dalam jurang.

Hari sudah mulai gelap, akhirnya tim SAR memutuskan untuk turun ke Ranu Kumbolo dan bermalam sambil memutuskan langkah dan metode pencarian besok. Pagi harinya tim SAR melanjutkan pencarian dan bertemu seorang pendaki pria lalu bertanya, “mas, lihat cewek dengan ransel merah berambut sebahu“? Pendaki itu tidak berbicara, hanya menunjuk ke arah jurang di Kali Mati, tim SAR pun bergegas. Setelah tiba di sana mereka mulai berpencar dan salah satu anggota tim menemukan jasad Rina membusuk di dasar jurang, di sisinya di temukan buku harian Toni yang tertinggal pada waktu ia menuju pos Ranu Pane untuk meminta bantuan. Setelah jasad Rina dibungkus, seluruh tim turun dengan membawa jasad Rina turun. Setelah beberapa jam bersusah payah membawa mayat, tim sampai di pos Ranu Pane yang terletak di kaki gunung Semeru. Setelah beristirahat salah satu leader tim SAR iseng menanyakan kepada penjaga pos, “Pak, tadi siang ada pendaki yang turun“? Tanyanya dengan penuh selidik. “Tidak ada”. Jawab penjaga pos serius. “Iya, pendaki laki-laki yang kami temui dan menunjukkan posisi mayat pendaki perempuan itu“? Leader tim SAR mananyakan sekali lagi. “Tidak ada, wong hanya tim sampean kok yang saya lihat turun”. Pertanyaan yang tidak tuntas terjawab berada dalam benak leader tim SAR. /tasawuf hitam-putih_ddns*