Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan pernyataan sastra yang paling inti. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, Prof. M. Atar Semi (1993) memberikan deskripsi tersebut karena puisi dari dahulu hingga sekarang merupakan suatu pernyataan seni sastra yang paling baku dalam dunia kesusastraan. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni sastra yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra. Karena kemajuan masyarakat dari waktu kewaktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang wujud puisi semakin kompleks dan semakin terasa sehingga lebih menyukarkan pemahamnya. Begitu juga halnya corak dan wujud puisi Indonesia modern. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh hakekat puisi yang merupakan inti pernyataan yang padat itu sebagai bentuk fakta kemanusiaan dalam proses asimilasi dan akomodasi itulah karya sastra sebagai fakta kemanusiaan memperoleh artinya. Proses tersebut sekaligus merupakan genesis dari struktur karya sastra. Dalam penggunaannya tidak hanya terbatas pada penyebaran dan penerimaan karya sastra, tetapi juga menyangkut terhadap penciptaan, dan diintegrasikan dalam analisis positif yang didasarkan pada prinsisp-prinsip perubahan dan perkembangan.
Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik definisi itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Pengertian atau batasan tentang puisi itu tidak hanya diperlukan oleh para ahli teori sastra, guru sastra, para akademisi yang sedang mendalami ilmu dan apresiasi sastra, tetapi juga bagi para penulis dan penyair. Bagi para ahli sastra, guru, dan akademisi, pengertian atau batasan puisi itu kegunaannya amatlah jelas, yaitu untuk landasan atau titik tolak kajian dan pemahaman puisi. Bagi para penyair, hal itu berharga karena akan membantu mereka dalam berkarya, dalam menentukan apakah karya mereka mencapai mutu puitik yang tinggi atau hanya menghasilkan suatu puisi yang tidak jelas struktur dan tujuannya. Walaupun mereka (penyair) tidak mesti memiliki definisi yang sama dengan definisi sendiri tentang hakikat puisi ciptaannya. Bahwa puisi itu memiliki makna yang luas dan beragam tidak dapat dipungkiri.
Beberapa ahli yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet mulyana (1956) memberi batasan puisi dengan menggunakan pendekatan psikolinguistik, karena puisi merupakan karya seni yang tidak saja berhubungan dengan masalah bahasa tetapi juga berhubungan dengan masalah jiwa.
Ada pula yang menggunakan pendekatan struktural seperti William Worsworth, yang merumuskan pengertian puisi: Poetry is the best words in the best order; artinya adalah kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Adapula yang menggunakan pendekatan emotif seperti Leigh Hunt yang mengatakan Poetry is imaginative passion; puisi merupakan luapan gelora perasaaan yang bersifat imajinatif.
A. Unsur-unsur yang Membentuk Puisi
Dalam pembentukannya puisi terbagi menjadi tiga unsur, yakni:
1. Intuisi
Intuisi adalah satu daya atau kemampuan melihat suatu kebenaran atau kenyataan tanpa pengalaman langsung atau dibantu oleh suatu proses logika. Untuk lebih menjelaskan pengertian intuisi ini dalam kaitan dengan penciptaan puisi, marilah kita menukikkan perhatian pada karya puisi itu agar pembicaraan tidak meluas ke arah hal-hal yang terlalu filosofis.
Prof. M. Atar Semi (1993) menyatakan bahwa sebuah puisi dapat diumpamakan sebagai suatu pernyataan yang menyenangkan, yang muncul dari suatu kemampuan penyairnya melihat sesuatu secara antusias dengan jurus yang tepat. Penyair mempertimbangkan secara masak apa yang dilihatnya kemudian mengungkapkan hasil penglihatannya tanpa terlalu berkecenderungan untuk mempermasalahkannya. Pada dasarnya, intuisi itu lebih banyak merupakan hasil kumpulan latihan berpikir yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan begitu, sesuatu dapat dilihat atau diamati dengan cara tertentu dengan menggunakan indera keenam, yaitu perasaan. Oleh sebab itu pula puisi jarang sekali menggunakan persepsi intelektual. Intuisi politik merupakan salah satu bagian dari imajinasi yang lebih banyak berakar pada daya angan daripada dalam konsep. Oleh sebab itu pada sebuah kata yang digunakan dalam puisi tidak dapat diberi batasan secara denotatif tetapi lebih menyatakan beberapa macam kemungkinan pengertian.
Bila kita berbicara mengenai intuisi dalam puisi berarti kita juga berbicara tentang pancaran kebenaran yang dapat diterima secara universal. Hal ini disebabkan kehadiran intuisi di dalamnya, yang dapat menyebabkan kita dapat mengatakan bahwa puisi yang baik tidaklah mesti menyampaikan sesuatu yang asing atau aneh tetapi hanya memperlihatkan kepada kita sesuatu yang sebenarnya sudah kita ketahui. Hal ini lebih menjelaskan dan meyakinkan kita bahwa mengapa banyak orang yang menyenangi puisi karena ia menyampaikan sesuatu yang besar dan hebat dengan cara yang mudah dan sederhana.
Jadi, intuisi adalah suatu ketajaman kata hati atau bisikan kalbu dalam menangkap isyarat-isyarat alam atau peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh makna.
2. Imajinasi
Imajinasi merupakan segi kedua yang membedakan puisi dengan prosa. Dalam puisi pengalaman jiwa itu diwujudkan ke dalam bentuk kata-kata. Makin dekat dan makin lengkap perwujudan angan itu maka semakin tinggi mutu puisi tersebut. Di samping itu, bertambah lengkap dan dalam pengalaman jiwa itu bertambah tinggi pula mutu karya tersebut.
Harus diakui apa yang dikatakan oleh Prof. M. Atar Semi (1993) bahwa angan itu tidak sama tepatnya dengan isi ujaran dalam kata. Karena angan itu bersifat abstrak maka ia hanya dapat diketahui wujud kongkritnya oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan melahirkannya ke dalam bentuk tanda --- dalam hal ini bahasa --- angan itu dapat diketahui oleh orang lain. Tetapi tanda itu sendiri tidak persis sama dengan yang ditandainya. Dekatnya hubungan antara sesuatu yang dikhayalkan dengan kongkritisasinya bergantung kepada kemampuan pengarang mengkongkritkan apa yang dirasakannya pada saat membuat puisi. Mengkongkritkan apa yang dikhayalkan itulah yang dinamakan imajinasi. Bila seseorang sedang mengimajinasikan sesuatu berarti ia sedang memberi bentuk terhadap apa yang dikhayalkan atau dirasakannya. Di dalam penciptaan puisi terjadilah imajinasi. Suatu pengkongkritan angan, sehingga isi dan bentuk sama-sama kongkrit. Isi dibaurkan dengan bentuk merupakan hasil pengkongkritan angan. Bentuk itu sendiri baru mempunyai arti bila sudah diisi dengan pengertian. Setiap perubahan yang terjadi pada angan atau khayal betapapun kecilnya akan memberi perubahan bentuk karena keduanya saling mempengaruhi. Daya imajinasi dalam karya puisi pada hakikatnya tidak kelihatan, karena ia terpendam dalam kesadaran orang masing-masing yang dapat dilihat dan dibicarakan adalah suatu yang muncul ke permukaan sebagai penjelmaan pengalaman jiwa yang dapat diamati dalam bentuk kata-kata yang digunakan sebagai lambang atau simbol.
Jadi, dengan uraian di atas jelas bahwa kata-kata yang digunakan sebagai alat pengungkapan angan dapat memberikan konotasi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Konotasi itu mungkin saja bisa sama bila penyair mampu memilih secara cermat simbol-simbol yang digunakan sebagai alat untuk mengkongkritkan sesuatu yang abstrak, yang berada di dalam pikiran dan perasaannya. Kata “bunga” dapat menimbulkan tafsiran yang luas dan macam-macam, namun setelah kata itu ditambah dengan kata lain seperti “bunga bangsa” maka pengertian yang dituntutnya menjadi lebih jelas dan terjurus.
3. Sintesis
Menurut Toeti Heraty (2000) sintesis merupakan unsur ketiga dalm pembentukan puisi. Sintesis berarti suatu kesatuan, suatu gabungan atau ikatan yang merupakan lawan dari analisis yang berarti terurai, yang terlihat unsur-unsur yang membentuk keseluruhan. Puisi dapat dikatakan sebagai suatu proses terpadu, sedangkan proses merupakan suatu kontruksi yang tersusun dari langkah demi langkah. Puisi merupakan suatu yang terpusat.
Suatu karakteristik dari kesintesisan puisi adalah pernyataan yang disampaikan bersifat unik, ia tidak langsung mengacu kepada sesuatu yang diungkapkannya, tetapi dapat mengandung pengertian yang luas atau pengertian yang berganda.
Dapat disimpulkan bahwa karangan puisi bersifat pemusatan atau konsentratif, karena bentuknya yang memusatkan pelukisannya pada hal-hal yang pokok saja. Bahasa yang digunakan dalam karya puisi bersifat konotatif, ia senantiasa memberikan implikasi lain dari apa yang sering dipahami mengenai kata-kata tersebut. Seringkali kata-kata yang digunakan dalam puisi sebagai kata-kata bersayap yang disebabkan kata-kata tersebut mengemban arti yang lebih luas, lebih dari satu.
Di samping itu, kemungkinan arti yang dipancarkan oleh bahasa puisi itu berkaitan erat dengan perasaan dan pikiran penyair. Tidak semua penyair yang menggunakan kata-kata yang sama mempunyai maksud yang serupa. Misalnya kata “bulan” yang digunakan dalam puisi yang lain.
Bahasa puisi meninggalkan kesan rasa dan daya tanggap yang tinggi oleh pembacanya. Untuk itu ia memerlukan kehalusan penglihatan dan pendengaran (visual and auditory) karena memang puisi itu merupakan suatu sintesis dari sesuatu yang luas dan dalam. Tiga unsur yang mendominasi puisi, yaitu intuisi, imajinasi, dan sintesis.
B. Unsur-unsur yang Membangun Puisi
Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau memberikan perhatian kita terhadapnya maka kita biasanya akan mendapatkan sesuatu dari puisi tersebut, mungkin berupa pengetahuan, kesan, atau berupa apa saja. Namun apa yang kita terima dan rasakan itu tidak dapat kita analisis disebabkan hal itu muncul hanya dalam puisi itu secara bulat dan utuh. Walaupun kita dapat menangkap beberapa hal secara sekaligus dari suatu puisi, namun kita dapat menjelaskannya secara sekaligus.
Sungguhpun amat sukar membeda-bedakan unsur-unsur yang membangun sebuah puisi, namun di dalam kesukaran itu kita memperoleh juga banyak manfaat sebagai bahan diskusi. Bentuk puisi itu umumnya lebih jelas dibandingkan dengan bentuk prosa, karena puisi merupakan bentuk karya sastra yang indah dan sekaligus pula sebagai bentuk sastra yang tertua.
Marjorie Boulton (1979) membagi anatomi puisi atas dua bagian, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental. Namun Boulton mengaku bahwa adalah tidak mungkin untuk membedakan bentuk fisik dengan bentuk mental secara komplit karena kedua bentuk itu berinterrelasi satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu kita harus membicarakan bentuk fisik dan bentuk mental sebuah puisi maka dalam pembicaraan tidak dapat dilihat pertalian satu sama lain.
Bentuk puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentuk nada dan larik puisi; termasuk ke dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, satuan arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan mental, terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya.
Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan Bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. Lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi.
2. Lapisan arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa.
3. Lapisan tema, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi.
Ketiga lapisan itu saling bertautan, lapisan bunyi menimbulkan lapisan arti, lapisan arti menimbulkan lapisan tema. Bila lapisan bunyi yang merupakan lapisan permukaan tidak ada, atau katakanlah berantakan, sedangkan lapisan arti tidak ada pula, maka dengan sendirinya lapisan tema pun tidak ada, malahan puisi itu sendiri tidak pernah ada, atau kalaupun ada, tidak dapat dikatakan sebagai sebagai sebuah puisi. Oleh sebab itu lapisan pertama yang berupa lapisan bunyi sebuah puisi amat penting; lapisan pertama itu betapapun baiknya tidak akan menimbulkan suatu totalitas yang baik dan sempurna, manakala lapisan pertama itu tidak mampu melahirkan lapisan kedua dan ketiga yang baik. Dengan kata lain, sebuah puisi itu merupakan suatu totalitas.
Sebagai sebuah totalitas amatlah sukar membicarakan unsur-unsurnya satu persatu, tanpa memperlihatkan kaitan satu sama lain. Tetapi untuk kepentingan akademis, bukan kepentingan apresiasif atau efektif, pembicaraan unsur-unsur itu dilakukan untuk melihat dan mengetahui anatomi puisi itu satu persatu, bagian demi bagian, dalam rangka menambahkan pemahaman dalam melihatnya sebagai suatu keseluruhan.
Selasa, 16 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar