Kamis, 04 Maret 2010

Menulis Bisa Menjadi Sumber Penghasilan

Apakah menulis bisa sebagai sumber penghasilan? Sebelum kita menemukan jawaban yang kita inginkan, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apa yang menjadi modal penulis bila ingin keterampilan ini menjadi sumber penghasilan.

Menulis memang menuntut ketrampilan. Itu artinya untuk menjadi penulis terampil, tidak dibutuhkan topangan bakat hingga seratus persen sebab keterampilan bisa dipelajari. Tanpa adanya kemauan dan latihan serius, jangan harap keterampilan itu menemukan wujudnya. Juga, jangan percaya jika ada yang menegaskan bahwa menulis itu gampang. Dalam kacamata pragmatik, menurut saya, menulis itu sukar. Pasalnya, bila kita pertalikan dengan wacana komunikasi antarbudaya, seorang penulis mestilah paham situasi dan kondisi budaya pembacanya. Andai tidak, ia akan mengalami gagap komunikasi.

Bakat bukanlah unsur dominan dalam kinerja seorang penulis. Bakat seperti kita ketahui memang penting, sebab ia akan memperlancar kinerja seseorang. Namun, dalam tautan ini, dunia kepenulisan bukanlah dunia gelap yang tidak bisa dipelajari. Asalkan kita tahu kiat dan strateginya, dunia penulisan sangatlah transparan. Penulis berbakat alam pada suatu saat akan mengalami kemacetan produksi karena ilhamnya akan habis. Sebaliknya, penulis yang rajin belajar, rajin membaca – baca teori sastra, akan segera mendapatkan ilham berlebih apabila sedang macet. Hal ini tentulah mudah kita pahami. Pada saat kehabisan ilham, secara teoritis penulis sudah paham bagaimana cara membuat tokoh, menjalin peristiwa, atau melukiskan latar. Jadi, dari sudut kinerja kepenulisan, penulis tidak pernah kehilangan ilham. Bahkan penulis justru piawai menciptakan ilham. Selain itu kita juga perlu memahami karya satra sebagai sistem formal. Pemahaman ini kiranya patut digarisbawahi, mengingat masih banyak diantara kita yang menganggap karya satra sebagai karya yang tidak ilmiah. Karya satra, menurut asumsi sebagian orang, adalah karya imajinatif yang karena itu, boleh ditulis seenaknya. Karya satra seolah terwujud tanpa sistem formal.

Karya sastra, mengandung sejumlah unsur yang sistematis. Unsur ini antara lain tokoh, alur, dan latar. Berdasarkan ramuan unsur tersebut, si penulis membuat karangannya: bagaimana ia memainkan tokoh rekaannya itu di dalam jalinan peristiwa (aluran); dan, bagaimana ia memagari peristiwa tersebut di dalam suatu tempat, waktu, dan suasana (lataran). Ramuan ini membentuk sebuah sistem formal yang tentu saja saling berkait dukung – mendukung, membentuk sebuah kebulatan dan keutuhan yang bernama karya sastra. Jadi, melihat kenyataan ini, mudah – mudahan kita tak apriori lagi terhadap keilmiahan karya sastra.

Bertautan dengan hal di atas, kita sering melihat banyak karya ilmiah - skripsi mahasiswa dan disertasi kandidat doctor – yang ditulis secara kacau. Pokok pikiran dalam alinea tidak terfokus, tidak santun dalam penggunaan ejaan, dan sangat tidak efektif dalam merangkai kalimat. Hal ini , memang, tidak serta merta mencerminkan bahwa si penulisnya bodoh. Namun, dalam wacana akdemik, kekacauan ini membuktikan adanya sistem yang macet. Kemacetan semacam ini, di dalam pandangan psikolinguistik, biasanya disebut dalam istilah kesalahan kompetensi, yakni kesalahan yang dipicu oleh ketidaktahuan seseorang terhadap pengetahuan teoritis kebahasaan. Nah, kalau begitu, apakah kekacauan tersebut juga berkaitan dengan soalan bakat menulis? Karya ilmiah atau karya sastra , saya rasa sangat berhubungan.

Lima kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya sebagai penulis, yang masing – masing kebutuhan ini akan aktif apabila kebutuhan yang lebih rendah akan terpenuhi, yaitu:

1. Kebutuhan pemuasan dari, yakni hasratnya dalam menumbuhkembangkan segenap kemampuan dirinya; hasrat untuk menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri; hasrat menjadi apa saja yang paling tinggi menurut kemampuannya.

2. Kebutuhan ego, yakni berkaitan dengan harga diri atau kehormatan diri seseorang (percaya diri, prestasi, kemandirian, wawasan pengetahuan, keberhasilan, atau kebebasan berpendapat), bertalian dengan penghargaan diri orang lain atau reputasi (pengakuan, nama baik, prestise, status, gelar, atau kedudukan). Memotivasi diri menulis via kebutuhan ini, setidaknya akan memunculkan tulisan ilmiah.

3. Kebutuhan sosial, yakni memotivasi diri sendiri untuk menulis, jika dipangkalkan dari kebutuhan ini, akan memunculkan tulisan bertopik sosial – kemasyarakatan.

4. Kebutuhan rasa aman, yakni memotivasi diri menulis pelbagai topik yang berkaitan dengan aspek human interest.

5. Kebutuhan fisiologis, yakni membangun motivasi dalam menulis melalui topik yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia.

Mengingat motivasi menulis tidak bersifat relatif, dan mengingat motivasi tersebut bisa diidentifikasikan dengan kebutuhan pembaca, maka bisa dikatakan bahwa memproduksi tulisan pada hakikatnya selaras dengan layanan adab. Layanan adab adalah layanan terbaik yang diberikan seseorang yang berwenang kepada orang lain yang membutuhkannya. Dalam pemahaman ini, yang berwenang itu adalah sang penulis dan yang membutuhkannya adalah pembaca dan dapat diraih memfokuskan pada hal – hal berikut:

1. Obsesi terhadap kualitas yang memuaskan pembaca, karena penentu kualitas tulisan adalah pembaca

2. Berwawasan akademik, yakni penulis yang baik adalah mereka yang gemar memperluas wawasan, mau menerima kritik, anti penjiplakan, logis, gemar berlatih, dan jenaka.

3. Budaya menulis, yakni memiliki budaya menulis, terlebih jika menganggap diri intelek, sangatlah penting.

4. Kemitraan.menulis membutuhkan sejumlah pihak pendukung, seperti sahabat karib, perpustakaan, warung penjual Koran. Peliharalah kemitraan yang telah terjalin dengan baik.

5. Pelatihan, yakni sebagai penulis berkualitas, dan barangkali berbakat, hendaknya kita jangan pernah berhenti belajar, dan apapun yang pada dasarnya akan terus memperbaiki kinerja tulis – menulis kita.

Dan kepenulisan adalah proses mempengaruhi pikiran para pembaca untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Analogi ini tentu saja makin memantapkan keyakinan bahwa eksistensi penulis sama dengan pemimpin atau manager. Oleh karena berpautan dengan proses pengaruh – mempengaruhi, sudah seyogyanya kita mesti memahami jenis – jenis kepenulisan. Menurut hemat saya, berdasarkan gaya pengucapan, jenis kepenulisan dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Kharismatik dan nonkharismatik yang menjadi perbedaannya adalah dari kehangatan, dan kualitas pemilihan pokok pikiran tulisannya yang prima. Sedangkan nonkharismatik biasanya berkesan dingin.

2. Otokratis dan demokratis. Penulis otokratis terkesan angkuh, sedangkan penulis demokratis terkesan persuasif dan cenderung mendorong pembaca kepada hal – hal yang positif.

3. Visioner dan manipulator. Penulis yang visioner cenderung mampu memberikan inspirasi kepada pembacanya, sedangkan penulis yang manipulator bergaya tegas, kasar, berkesan asal tulis, dan penuh dengan hujatan dan fitnahan.

Jenis kepenulisan tentulah berpeluang pada diri kita sendiri, yang harus mempunyai prinsip seorang penulis efektif, yaitu

1. Kenalilah diri kita, sebab sangat penting untuk mendongkrak kualitas dari tulisan kita. Seperti mampu menjalin kemitraan dengan sejumlah pihak, bisa bersikap tegas, memiliki imajinasi dan kejenakaan, memiliki niat, kemauan dan kemampuan analitis, mampu mengubah gaya kepenulisan demi menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.

2. Mengenali situasi dan kondisi kita. Via kekuatan dan kelemahan tersebut kita menggunakan daya analitis untuk memahami situasi dan kondisi kepenulisan, baik internal maupun eksternal.

3. Memilih gaya yang selaras dengan situasi. Gaya kepenulisan bisa dipilih setelah kita sukses mengenali diri dan memahami situasi.

4. Memuasi kebutuhan pembaca, yakni perkembangan pokok pikiran yang pernah ada.

Juga dalam menggunakan kata – kata harus sesederhana mungkin agar tidak mengaburkan makna dari tulisan, menggunakan kata – kata yang sudah dikenal akrab oleh pembaca, dan gunakanlah kata – kata dengan makna yang pasti.

Dengan begitu pembaca akan terhibur dan kagum membacanya, jelas bahwa penulis mempunyai ciri – ciri:

1. Memahami benar – benar visi tulisannya dan sekaligus mampu menentukan misi untuk pembacanya.

2. Mampu menyusun bagan atau struktur organisasi tulisannya berdasarkan visi dan misi-nya.

3. Memahami cara mengeskpresikan dirinya dengan baik, berlandaskan pada asas kalimat efektif dan kesantunan ejaan.

Seorang penulis harus terampil dan cakap dalam berbahasa, makin cerah dan terang pula jalan pikirannya. Atau, seperti yang ditegaskan para filsuf, bahasa adalah jendela hati, yang dapat dianalogikan dengan keterampilan berbahasa alias aktivitas terbaik dalam berbahasa yang mesti dilakukan penulis.

Keterampilan berbahasa mempunyai empat unsur pendukung, yakni keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Tiap unsur ini , selain bersinergi, juga rapat bertalian dengan proses – proses yang mendasari bahasa.

Pasalnya, bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Atau, dalam ungkapan lain, pikiran yang kacau berimbas pada keterampilan berbahasa seseorang.

Oleh karena itu, jika kita kembali ke soal apakah menulis bisa sebagai sumber penghasilan atau tidak? Saya rasa dengan penjelasan yang menjelaskan tentang keterampilan menulis yang bisa dikuasai jika seseorang mempunyai niat, memiliki daya imajinasi, dan rajin berlatih maka penulis akan sukses dalam tulisannya. Tidak percaya? Koran atau TV dalam dunia jurnalisme mempunyai efek menyentuh dunia bisnis dan kalangan perguruan tinggi. Menyusun laporan, proposal, dan notula rapat serta menulis skripsi, tesis, atau disertasi misalnya, adalah imbas dari efek ini. Dampaknya sangat signifikan: ukuran profesional – tidaknya seorang pebisnis (juga penulis) atau seorang akademikus dewasa ini dilandaskan pada cakap tidaknya ia menulis. Contoh ini bisa diteruskan. Namun apapun contoh itu, yang jelas jurnalism effect ini didukung oleh bahasa. Pasalnya bila aktivitas tulis – menulis dijadikan budaya sejak dini, ia akan membuat seseorang mampu berpikir nalar dan sekaligus mampu berimajinasi. Imajinasi, kita tahu, adalah unsur penting yang memicu tumbuhnya perilaku humanistic seseorang. Implikasinya adalah mengenal Bahasa Indonesia secara baik dan benar menjadi hal yang penting dan perlu di perhatikan, khususnya oleh para penulis yang ingin menulis dan tulisannya dapat dijadikan sumber penghasilannya. Tanpa itu semua yang telah di uraikan, tidak akan ada hasilnya. Tetapi dengan itu semua??? Selamat mencoba dan buktikan sendiri!!! (dns). Sumber: Otonomi Bahasa (Wahyu Wibowo)

1 komentar:

  1. Dan, teruskanlah karya2mu, karena tulisan2 ente "bunyi"...jadikanlah menulis sebagai bagian dari diri kita....- WAHYU WIBOWO

    BalasHapus