Jumat, 05 Maret 2010

Membaca Ayu Utami: Perempuan yang Mempersetankan Perkawinan Oleh: Dadan Suhendra

Sastra yang baik, senantiasa eksis. Saat dibaca ulang, juga dicetak ulang, maka kehadirannya tetap sebagai penanda. Persoalan yang diangkat di dalam karya sastra itu juga tetap ada, berkaitan dengan saat ini. Seperti novel Saman karya Ayu Utami sebagai pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 1998 (yang membuat heboh karena berbicara perilaku seksual perempuan dengan ekplisit).

Membicarakan novel Saman karya Ayu Utami adalah membicarakan moral. Semua tokoh perempuan dalam kedua novel itu mempersetankan lembaga perkawinan dan itu sah saja. Dalam novel tersebut, perkawinan tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan lebih dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya patriarkal. Jangankan perkawinan, keperawanan pun sudah dianggap basi. Dalam arti, apakah seorang perempuan itu perawan atau tidak, sama tidak ada artinya dengan apakah seorang lelaki perjaka atau tidak sebelum menikah. Pendobrakan nilai-nilai seperti inilah yang lantang disuarakan Ayu Utami dalam Saman. Termasuk di dalamnya pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak adalah sebaliknya.

Saman, yang bernama asli Athanasius Wisanggeni, seorang pastor muda yang baru saja ditahbiskan. Wis kecil mengalami banyak kenyataan pahit. Kematian yang dialami ketiga adiknya, secara misterius dan sulit dipahami. Luka batin yang menderanya hingga akhir.

Sepanjang malam Sudoyo mendekap istrinya di dadanya. Keringatnya mengalir seperti butir-butir darah. Misa arwah ketiga diadakan setelah keluarga itu puas menatapi bayi yang mati, sehari semalam. Itu merupakan misa requiem pertama mereka dengan jenasah, tersimpan dalam peti mungil di atas meja tamu, peti kayu kecil seperti kotak musik Eropa abad lampau, yang kemudian dibawa oleh mobil hitam untuk ditanam dalam-dalam di tanah makam. Requiem. Requiem aeternam. In parasidum deducant te angeli.

Perkenalannya dengan Upi, seorang anak perempuan gila, dan Anson abang Upi di kota minyak Perabumulih tempat dia ditugaskan, adalah awal dari perjalanan kisah ini. Wis menemukan banyak ketidakadilan pemerintah terhadap para transmigran disana.

Wis duduk di antara mereka dengan gelisah. Ia telah mencatat cukup banyak. Ia tahu bahwa petani di transmigrasi PIR Sei Kumbang ini berutang benih, pupuk, dan pembukaan lahan yang semula ditanggung oleh PTP. Lima sampai sembilan juta rupiah, untuk dicicil dua puluh lima tahun. Karena itu, setiap kali mereka menjual lateks ke perseroan, pembayaran dipotong tiga puluh persen untuk mengangsur utang. Namun belakangan ini harga karet turun sehingga yang mereka terima kadang tak sampai lima retus perak per kilo getah cair. Mereka memilih menjual kepada tengkulak yang acap menawar lebih tinggi dan dating sambil mengutangi beras serta kebutuhan tani.

Pemerintah pusat, dengan kekuasaannya yang dikekalkan, menghirup darah segar rakyat sendiri, mencabik kemerdekaan, merampas keluguan dan memasungnya dalam sel-sel penuh tahi, birokrasi!

Wis membela kemerdekaan rakyat di lokasi tersebut, karena pemerintah memaksa mengganti lahan karet mereka dengan kelapa sawit, dengan ancaman. Hingga keadaan semakin tak terkendali. Perkampungan dibakar, Wis diculik, disekap, dan diinterogasi (khas represifnya orde baru). Hingga akhirnya Anson dan kawan-kawannya membebaskan dia. Sejak saat itu, Wis menjadi orang yang paling dicari oleh pemerintah.

Kepala Dinas Penerangan Polda Sumbagsel menyebut-nyebut aktor intelektual di belakang perlawanan warga Sei Kumbang: Ada indikasi bahwa dalang aksi tersebut adalah seorang rohaniwan yang disusupi pandangan-pandangan kiri.

Untuk menghindari diri dari fitnahan pemerintah, Wis mengganti identitasnya dan memilih Saman sebagai namanya yang baru. Saat itulah dimulai perlawanannya terhadap pemerintah, kegelisahannya, pemaknaannya pada nilai-nilai baru, petualangannya, hingga pertemuannya dengan teman-teman baru, yang semuanya itu menjadi faktor pendukung perjuangannya sampai akhir.

Para tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila), Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala (Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual. Dalam wawancara dengan sebuah majalah, Ayu Utami mengakui bahwa tema novel Saman adalah mengenai seksualitas. Ia pun mengakui bahwa seksualitas adalah problem perempuan. Kegelisahan seksual itu melekat pada keempat tokoh perempuan yang bersahabat sejak kecil.

Laila adalah seorang fotografer yang jatuh cinta pada Sihar Situmorang, seorang insinyur perminyakan yang bekerja di rig. Meskipun Laila tahu bahwa Sihar sudah beristri, namun hasratnya untuk bercumbu (petting) dengannya terus membayangi. Bahkan ketika Sihar berangkat ke Amerika Serikat (New York), Laila berusaha melakukan hubungan seksual itu. Berbeda perasaannya ketika berada di Indonesia, ketika berada di New York, Laila merasakan atmosfir yang lain, bahwa di kota itu orang-orang tidak memedulikan apakah seseorang masih perawan atau tidak, apakah seorang perempuan menikah atau tidak. Namun, upaya Laila untuk merebut hati Sihar menemui kegagalan, karena Sihar berangkat ke New York bersama istrinya. Shakuntala adalah seorang penari profesional yang memperdalam ilmunya di New York. Ia bisa memerankan Sita dan Rahwana sekaligus dengan bertelanjang dada. Ketika ia menari seperti baling-baling, hingga menjadi seperti gasing, ia merasa ada kelaki-lakian dalam dirinya. Ia merasa bahwa dalam dirinya ada sisi perempuan dan sisi laki-laki. Ia seorang biseks. Sejak kecil, ia sudah membenci ayahnya, karena ayahnya sering menghambat ruang geraknya. Dan ketika melihat Laila sedih karena gagal kencan dengan Sihar, Tala menghiburnya dengan mengajak menari tango, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan angkuh. Saat menari itulah kelelakian Tala tumbuh dan ia mengajak Laila tidur. Yasmin, yang sudah bersuamikan Lukas Hadi Prasetyo, berselingkuh dengan seorang pastor, Romo Wis, panggilan Athanasius Wisanggeni, yang berganti nama menjadi Saman saat berada dalam status buronan. Mereka melakukan hubungan seksual saat Yasmin dan Saman berada di Pekanbaru, ketika Saman mau dilarikan ke Amerika. Hubungan Yasmin yang memperjakai Romo Wis (Saman) itu berlanjut melalui surat elektronika (email) yang mampu membuat Yasmin orgasme membaca surat-surat Saman. Selanjutnya, hubungan itu semakin konkret ketika Yasmin menyusul Saman ke New York.

Sementara Cok adalah perempuan yang sejak duduk di bangku SMA (kini SMU) sudah menganut aliran freesex. Ia bahkan pernah dipindahkan ke SMU di Bali gara-gara orangtuanya menemukan kondom di tas sekolahnya. Di Bali, justru petualangan seksnya semakin menjadi-jadi hingga menginjak dewasa. Ia tidur dengan banyak lelaki, di antaranya dengan menjadi simpanan pejabat militer, Brigjen Rusdyan Wardhana. Dengan pejabat militer itulah ia mendapat berbagai fasilitas usaha, sehingga menjadi pengusaha yang banyak duitnya. Ia pula yang menjebak Yasmin dan Saman menginap dua hari di bungalownya, sehingga mereka berdua tak mampu mempertahankan keinginan seksual. Saman yang memilih hidup selibat justru merangsang Yasmin untuk segera memperjakainya.

Ayu Utami ingin menggempur lembaga perkawinan yang selama ini disakralkan oleh sebagian besar masyarakat kita. Laila dan Cok dengan sadar menggerogoti rumah tangga orang lain. Dalam hal ini, tentu yang disalahkan tidak hanya pihak perempuan, tapi juga pihak laki-laki, baik Sihar maupun Brigjen Rusdyan. Sementara Yasmin dengan sadar pula merusak rumah tangganya sendiri dengan memperjakai Romo Wis, dan mengabadikan perselingkuhan itu. Dan Tala yang biseks memposisikan dirinya di luar lembaga perkawinan yang lazimnya buat kalangan heteroseks. Anehnya, ibu Saman pun digambarkan sebagai ibu rumah tangga atau perempuan yang aneh. Karena, perempuan itu digambarkan Ayu Utami sering berselingkuh dengan bangsa jin dan mambang.

Saya membacanya demikian: bahkan terhadap seorang perempuan yang sudah menikah atau melangsungkan perkawinan pun Ayu mencederainya. Tidak ada gambar atau potret kebahagiaan bagi perempuan yang menikah dalam novel Ayu. Saman bertugas menyembunyikan dan melarikan tiga aktivis yang dikejar-kejar aparat keamanan karena tersangkut kasus 27 Juli 1996. Namun, gagal melarikan ketiga aktivis itu ke luar negeri. Dalam novel Ayu, laki-laki “baik-baik” pun dimatikan. Bagaimana kita menyikapi Saman? Dalam berbagai kesempatan, Ayu Utami sering mengeluarkan pernyataan (gagasannya) yang menyatakan bahwa dirinya tidak menyetujui adanya lembaga perkawinan, dan cenderung memilih untuk melakoni kehidupan tanpa peraturan mengenai seks. Dengan kata lain, tidak menolak kebebasan seksual.

Sedikit banyak, hal ini menjadi semacam kredo bagi Ayu Utami dalam berkarya. Saya sangat yakin bahwa karya-karya Ayu Utami tidak akan lari jauh dari persoalan seksual, anti-perkawinan, emoh-keperawanan, dan sejenisnya. Kalaupun ada karya-karyanya yang mengangkat persoalan di luar seks, maka butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa mewujudkannya. Kalau kita merunut kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri dan karya-karya awalnya pada 1974, maka akan kita dapati korelasi seperti itu. Dan, jarak antara lahirnya kredo puisi SCB dengan sajak “Tanah Airmata” yang dahsyat itu, yang diciptakannya menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, demikian panjangnya. Saya sependapat dengan Sapardi Djoko Damono yang mengatakan bahwa Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan memilih dan mengolah kata (diksi) yang demikian cemerlang, atau kata-katanya bercahaya seperti kristal, sebagaimana yang dikatakan Ignas Kleden. Tapi, bahasa yang canggih itu digunakan untuk mengemas sebuah gagasan besar yang merontokkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Bahasa dapat menutupi pikiran-pikiran, kata pepatah Prancis. Dan, memang, daya ungkap Ayu Utami memang luar biasa, sehingga pembaca dibuat terpukau dan terkejut sekaligus.

Saya sangat yakin bahwa Saman tidak dimaksudkan Ayu Utami sebagai karya klangenan, apalagi dalam kedua novel tersebut Ayu juga menyinggung kasus kerusuhan rasial di Medan, kasus G30S, pembantaian pasca-G30S terhadap orang-orang yang diduga sebagai PKI, peristiwa 27 Juli 1996, dan beberapa peristiwa sosial politik di tanah air. Ada gagasan besar yang hendak disampaikannya, yakni mendobrak budaya patriarkal. Dalam hal ini, ia ingin membebaskan “kelamin” kemana suka. Sayangnya, Sapardi tidak sampai memberikan penilaian apakah nilai-nilai dalam kedua novel itu bisa dibenarkan atau tidak, memiliki nilai kepantasan di masyarakat kita atau tidak. Inilah yang membuat sebagian pembaca novel Ayu Utami merasa terkejut dengan penanaman nilai seperti ini.

Konsep humanisme universal yang memegang teguh l’art pour l’art, seni untuk seni, dan bahwa sastra memiliki dunianya sendiri bisa menjadi tameng bagi sastrawan untuk tidak mempertanggung jawabkan karyanya. Dengan pola yang mirip (tidak sama) seperti ini pula Ki Panjikusmin tidak berani tampil mempertanggung jawabkan karyanya. Berbeda dengan cerpen “Langit Makin Mendung” yang divonis dari kacamata agama.

Dalam novel Ayu Utami ini, orang yang memilih jalan selibat pun diembat oleh tokoh perempuan Ayu, Yasmin. Setidaknya, dalam novel tersebut juga terbaca bahwa jalan yang dilalui para tokoh perempuan itu juga pada akhirnya merugikan orang (pihak) lain.

Kehadiran Ayu Utami dengan Saman dalam sejarah sastra Indonesia seperti magma yang mengejutkan banyak pihak, terutama menyangkut kefasihannya bicara soal seks secara vulgar, yang kemudian melahirkan epigon di wilayah ini seperti Djenar Maesa Ayu. Novel Saman inilah yang mampu menandingi Sitti Nurbaya dan Layar Terkambang dalam hal cetak ulang. Membaca Saman, kita seperti berada dalam posisi bimbang Adam: apakah buah kuldi itu harus dimakan? /dns



DAFTAR PUSTAKA
Gaarder, Jostein. 1996. Shophie’s World, Dunia Sophie, Sebuah Novel Filsafat. (Penerjemah, Rahman Astuti). BAndung: Mizan.
Heraty, Toeti. 2000. Hidup Matinya Sang Pengarang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hidayati, Arini. 2003. Sebab Uku Burung Fana. Yogyakarta: Putra Langit.
Maesa Ayu, Djenar. 2004. Jangan Main-Main (Dengan Kelamin). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prama, Prama. 2001. Percaya Cinta Percaya Keajaiban. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Rose, La. 1984. Kisi-Kisi Kehidupan. Jakarta: Pustaka Kartini.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Rasa.
Utami, Ayu. 2002. Saman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Wibowo, Wahyu. 2001. Otonomi Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiryomartono, Bagoes P. 2001. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa, Sebuah Wacana Seni dan Keindahan, dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaki Ibrahim, Muhammad. 2004. Tasawuf Hitam Putih. Solo: Tiga Serangkai.

1 komentar:

  1. SAYA MALAH GAK NGERTI BAGAIMANA MUNGKIN "SAMAN" DINILAI BAGUS HANYA KARENA MENDOBRAK NILAI-NILAI MORAL, DSB.DALAM PERSPEKTIF LANGUAGE-GAMES, "SAMAN" SEKADAR BERCERITA TENTANG PERSELINGKUHAN & FREE-SEX, SEDANGKAN ISU BESAR TENTANG PENDOBRAKAN KEPATRIARKIAN HANYALAH AKAL-AKALAN MEDIA MASSA SUPAYA HEBOH AJAH...NILAINYA SEBAGAI KARYA SASTRA SEH..YAAA..GITU2 AJA....

    BalasHapus