Bahasa memberi suatu sarana bagi penulis, kritikus dan penikmat sastra untuk mampu memahami sastra dari tinjauan yang lebih bermakna bagi kehidupan. Penikmatan terhadap karya sastra melalui interpretasi keseluruhannya dapat dimulai dengan memahami bagian-bagiannya, tapi interpretasi bagian mengandalkan lebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu. Interpretasi ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksud inilah yang disebut sebagai hermeneutika. Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran).
Atas dasar itu, sebuah penelitian bidang sastra mutlak menggunakan metode hermeneutik, karena kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra pada awal dan akhirnya harus diinterpreatasi dan dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan para kaum akademisi yang mengkaji bidang sastra. Ada suatu kasus di sebuah universitas swasta, seorang mahasiswa fakultas bahasa dan sastra, jurusan indonesia yang sedang menyusun skripsi dibuat bingung oleh pembimbingnya, mahasiswa tersebut mengkaji puisi dalam skripsinya yang mutlak menggunakan metode hermeneutik, pembimbingnya menyarankan agar hermeneutik tidak dipakai, dengan alasan agar tidak tumpang-tindih dengan teori (strukturalisme genetik, teori ini merupakan pendekatan yang mengelaborasi faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam penelitian suatu karya sastra dengan medium visi dunia dari pengarang) yang dipakai, sampai pada akhirnya pada sidang skripsi, tim penguji menanyakan alasan penulis skripsi tidak menggunakan metode tersebut, karena pembahasan yang dikemukakan sangat bertalian dengan metode hermeneutik. Menurut Dr. Wahyu Wibowo, seorang ahli Filsafat Bahasa Biasa, hermeneutik bila dipakai sebagai metode tidak akan bertolak belakang dengan teori yang dipakai dalam kajian sastra. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperoleh pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam. Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai (Eagleton, 1983: 66).
Hermeneutik umumnya dikenal secara luas sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari. Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya. Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam (Eagleton, 1983: 68).
Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa. Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan (Eagleton, 1983: 70).
Selasa, 16 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar