Kamis, 04 Maret 2010

KISAH 19 HARI PEMANJATAN BUKIT KELAM


Tampang sangar tebing kelam terlihat dari kejauhan kota Sintang, seakan menanti untuk para petualang panjat tebing untuk “memanjatnya” dengan jemari mereka yang kokoh.

Tim panjat tebing dari HIMPALA UNAS dibantu oleh tim pendukung dari MAPALA TEKNIK UNTAN dan KOMPASS SINTANG, berhasil mencapai puncak tebing Kelam (937 mdpl) di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat selama 19 hari pemanjatan dengan susah payah.

Pemanjatan kali ini adalah salah satu ekspedisi kesinambungan pemanjatan dan eksplorasi tebing-tebing tinggi di Indonesia setelah tebing Parang (Purwakarta) dan Bambapuang (Enrekang, Sulawesi Selatan).

Perjalanan tim dimulai pada medio Juli 2004. Dari Jakarta, menginap beberapa hari di Pontianak lalu dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Sintang selama 8 jam. Karena kelelahan selama perjalanan, tim memutuskan untuk beristirahat beberapa hari sambil mengurus perijinan, orientasi medan dan jalur pemanjatan.

Dipagi yang dingin tim dipaksa untuk bergegas berangkat menuju bibir tebing, di sekitar Bukit Kelam (masyarakat sekitar menyebutnya) ini cukup dingin dipagi dan malam hari.

Perjalanan menuju bibir tebing memakan waktu 3 jam dengan jalur menanjak yang melelahkan, dengan jumlah barang yang banyak cukup membuat tim yang terdiri dari 8 orang dari HIMPALA UNAS dan 6 orang dari anak-anak Kalimantan kepayahan. Sebelum tengah hari kami sampai di bibir tebing, istirahat sambil berkenalan dengan para penjaga walet yang berada di sana. Bukit kelam termasuk salah satu yang produktif gua-gua waletnya diantara tebing-tebing lain yang berada di Kabupaten Sintang.

Ditengah waktu istirahat kami cukup terperangah dengan semua permukaan dinding tebing yang basah, bahkan sebagian terlihat seperti air terjun, penyebabnya hujan beberapa jam kemarin sore yang cukup lebat. Kondisi hutan di sini memang hutan hujan tropis yang mempunyai intensitas curah hujan yang cukup besar pada musim penghujan, padahal, pada medio bulan Juli ini masa pergantian cuaca kemusim kemarau, seharusnya intensitas hujan berkurang. Vegetasi di sini cukup banyak antara lain kantung semar khas Kalimantan yang dapat ditemui di sekitar Bukit kelam, khususnya area puncaknya.

Malamnya setelah makan, kami briefing untuk beberapa hal yang akan dilakukan besok sesuai jadwal. Tim memutuskan beristirahat sambil membangun pondokan sederhana sebagai base camp selama pemanjatan. Pondokan tersebut terbuat dari bahan batang pohon honje dan beratapkan bahan terpal tenda dan mempersipkan sesaji upacara adat sebagai persembahan bagi roh-roh yang bersemayam di Bukit Kelam sebelum pemanjatan dimulai. Karena pepatah mengatakan “di mana bumi dipijak, di situ bumi dijunjung”. Sesajinya terdiri dari darah dan kepala ayam, kue-kue, rokok juga arak putih. Tempat sesaji harus terbuat dari bambu, khusus untuk lokasi pemanjatan kami yang kebetulan berada di sisi Melayu menggunakan hewan sesajinya ayam kecuali pada sisi Dayak harus memotong babi sebagai hewan sesajinya.

Beberapa hari kemudian pemanjatan dimulai, didahului dengan upacara adat yang dipimpin tetua adat setempat. Tim pertama memulai merayapi dinding dengan beberapa pengaman yang harus ditanam dengan cara dibor, batuan andesitnya sangat keras terkadang memercikkan api sewaktu dibor. Pemanjatan kali ini memaksa kami harus bor to bor karena hanya lintasan ini yang kering pada sisi utara tebing dan tanpa crack (retakan cacat batuan) untuk mengkombinasikan pemakaian pengaman sisip. Jalur semula yang telah tim tentukan bagai air terjun setelah diguyur hujan. Perubahan jalur ini ditentukan setelah observasi sembari berstirahat beberapa hari yang lalu. Kendala keterbatasan alat seperti mata bor dan cincin kait yang berjumlah sekitar 300 buah sempat menggelayuti pikiran kami, penyiasatan efisiensi pemakaian harus dilakukan namun tidak mengurangi keamanan pemanjat.

Sekitar 30 meter lintasan telah terpasang pada sore harinya untuk dilanjutkan beberapa hari dengan menambah ketinggian sekitar 70 meter dan pemanjatan terhenti 2 hari karena hujan lebat disertai angin kencang dan petir yang mengakibatkan semua dinding lintasan kembali basah. Sebelum hujan turun tim sempat menambah ketinggian beberapa meter dan turun karenanya, sebagian tim berkelakar “pemanjatan basah” dan beberapa mengatakan “waterfall climbing” semua sontak tertawa. Bahkan malam harinya, pondokan kami sedikit porak-poranda karena hujan yang berangin kencang, terpaksa kami tidur dengan sedikit berbasah ria, Keesokan harinya kami coba merenovasi dan memodif pondokan kami agar sesuai dengan kondisi cuaca di sini. Cuacanya benar-benar tidak menentu, sekitar satu minggu di sini diperkirakan sudah masuk musim kemarau, mingkin karena pengaruh pemanasan global yang membuat kondisi demikian. Ada keuntungan yang didapat, air menjadi berlimpah dan cukup memenuhi kebutuhan berapa minggu kedepan bahkan untuk mandi sejumlah orang sekalipun. Tapi waktu yang dibutuhkan dalam pemanjatan ini bertambah, artinya persediaan makanan pun harus ditambah. Penyiasatannya kami harus “menggunakan fasilitas di alam sekitar” alias memasak tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan untuk mencukupi kebutuhan makanan.

Pemanjatan dilanjutkan beberapa hari dengan menambah ketinggian sekitar 200 meter. Setelah ketinggian bertambah kami memakai teknik alpine style dengan tim pemanjat yang tidak akan turun dan bermalam di ketinggian (flying camp). Sebelumnya kami harus mempersiapkannya dengan memperbaiki lintasan yang zig-zag agar naik dengan meniti tali lebih nyaman, lalu menentukan titik-titik flying camp dan camp logistic di ketinggian tertentu yang telah ditentukan. Sebelumnya tim menggunakan teknik himalayan style, yaitu tim turun ke base camp (pondokan) setelah melakukan pemanjatan. Setelah semuanya siap, tim yang telah ditentukan mulai meniti tali untuk menginap di ketinggian dan memulai pemanjatan dari sana keesokan harinya.

Angin dingin dipagi hari pada ketinggian sekitar 300 meter begitu menghanyutkan untuk meneruskan tidur diselimuti kantung tidur yang begitu nyaman pada kondisi seperti ini, tetapi tanggung jawab yang telah ditentukan menuntut untuk bergegas melanjutkan pemanjatan. Setelah sarapan penuh kalori tim mulai memanjat, tingkat kesulitan pada ketinggian ini makin bertambah, permukaan pada dinding batuan andesit yang hampir rata menuntut kehatian-hatian dan berpikir ekstra agar pemanjatan tetap aman.

Matahari kian meninggi dan teriknya membuat dehidrasi, istirahat sejenak sambil mengunyah coklat dapat memulihkan tenaga yang terkuras. Beberapa puluh meter di atas terlihat overhang (dinding tebing membentuk sudut 90º) menanti kami. Belum terlalu sore tim tiba di bawah overhang untuk bermalam dan melanjutkan pemanjatan yang paling sulit untuk melewatinya dan membutuhkan tenaga ekstra. Tim di base camp begitu gembira dan berharap-harap cemas, sekitar 200 meter tersisa untuk menuju puncak dan yang paling penting tim pemanjat dapat melewati overhang­ karena itulah bagian yang tersulit.

Malam dengan tidur tergantung ratusan meter dari permukaan tanah memang pengalaman yang benar-benar luar biasa, kantuk mulai bergelayut di pelupuk mata dan kami bergegas tidur. Mimpi indah keberhasilan menuju puncak setelah belasan hari memanjat penuh dengan perjuangan seolah menjadi pengiring tidur paling spesial. Hawa dingin yang menusuk memaksa bangun lebih awal untuk mempersiapkan peralatan dan sarapan sebelum melanjutkan pemanjatan. Pemandangan begitu indah dari ketinggian ini hamparan hutan, ladang, dan kota Sintang terlihat dari kejauhan bagaikan permadani bergambar landscape yang mempesona.

Bor to bor dengan jarak sekitar 4 meter terpaksa dilakukan untuk menunjang keselamatan pemanjat bergelantung merayapi dinding seperti cicak di langit-langit rumah. “Kami menghabiskan 7 mata bor untuk melewati overhang melintang 100 meter dengan lebar 4 meter, beberapa kali tim harus jatuh karena kekuatan tangan tak kuat menahan beban tubuh dan peralatan pemanjatan yang melekat begitu berat”. Ujar Davi sebagai anggota tim pemanjat. Selepas tengah hari ujung overhang terlewati, istirahat sambil observasi jalur lalu melanjutkan dengan berganti pemanjat, tujuan selanjutnya sebuah bidang datar belasan meter di atas kami dengan kondisi lintasan yang cukup dilewati dengan agak merangkak tetapi tetap harus hati-hati. Matahari mulai tenggelam, kami baru tiba di bidang datar yang cukup untuk tidur dengan posisi tubuh agak lurus untuk tiga orang. Setelah diskusi untuk melanjutkan besok kami tidur lebih cepat karena terlalu lelah setelah berjibaku dengan lintasan yang sulit walaupun hanya menambah ketinggian tidak terlalu tinggi.

Tim darat bergegas menuju puncak melalui jalur wisata yang lintasannya terbuat dari tangga besi, untuk menyambut tim pemanjat dan bergabung untuk merayakan celebration sebagai tanda kesuksesan tim secara utuh. Dengan harap-harap cemas kami menanti dengan mempersiapkan beberapa titik pengaman untuk kami dan tim pemanjat, walau agak datar kondisi sekitar puncak dipenuhi semak yang menutup sisi terjalnya. Dengan pantauan melalui HT (handytalkie) kami memantau pergerakan tim yang tinggal beberapa meter di bawah kami.

Tim pemanjat satu per satu muncul di puncak, kami bersorak dan sebagian terharu akan keberhasilan tim secara utuh setelah 19 hari berjuang dengan penuh rintangan. Pataka kebesaran HIMPALA UNAS berkibar di puncak Bukit Kelam seolah menghiasi secuil keberhasilan dari pemanjatan dan eksplorasi tebing-tebing tinggi di Indonesia yang belum tuntas.

Pekerjan belum usai, tim pemanjat harus kembali turun dengan teknik clean down, yaitu turun melelui lintasan semula dengan panjang lintasan sekitar 900 meter dan membawa turun perlengkapan yang dibawa. Butuh waktu satu hari untuk membereskan semua dan sampai ke pernukaan tanah.

Seluruh tim berkumpul di pondokan, dengan segala suka cita dan penuh harapan ke depan kami dapat menuntaskan cita-cita kami mencapai puncak-puncak tebing tertinggi di Indonesia bahkan internasional. Terus berjuang…Takkan Henti Kaki Melangkah Tuk Mencapai Puncak Idaman. /dns

1 komentar: