Jumat, 05 Maret 2010

Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya: melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Sosiologi sastra merupakan telaah sastra yang berpusat pada persoalan hubungan antara karya sastra dengan pengarang, pengarang dengan pembaca, pembaca dengan karya, dan karya dengan kenyataan sosial. Pokok dari pembahasan yang akan dibahas dari novel Burung-Burung Manyar Karya Y.B Mangunwijaya adalah melihat karya dengan kenyataan sosial ( teori mimetic ).

Teori mimetic adalah teori sastra yang menonjolkan aspek acuan atau refrensial dalam menelaah karya sastra. Teori ini berpandangan pada karya sastra yang dianggap sebagai tiruan / penggambaran kenyataan hidup manusia.
Burung-Burung Manyar adalah karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang akrab disapa Romo Mangun seperti memasuki dunia revolusi Indonesia antara tahun 1934 hingga 1950 yang penuh dengan konflik antara orang Indonesia sendiri dengan Belanda termasuk juga pertentangan dengan orang Indonesia yang anti Republik. Demikian pula dalam Burung-Burung Manyar, dalam konteks pembacaan post-kolonial, kita sering "mendengar" keyakinan Mangunwijaya bahwa dekolonisasi seharusnya merupakan proses menolak kolonisasi tanpa perlu menolak orang Belanda. Hibriditas Teto, tokoh utama Burung-Burung Manyar, merupakan pernyataan politik Mangunwijaya dan sumbangan pemikirannya terhadap kondisi "pasca-Indonesia" yang amat heterogen.
Novel setebal 261 halaman tersebut berisi perjalanan hidup seorang lelaki bernama Setadewa yang peranakan Belanda-Jawa dan jatuh cinta pada teman sepermainannya masa kecil, seorang perempuan Indonesia asli dari kota Bogor bernama Larasati. Latar sejarah Indonesia pada tahun 1934-1944, kemudian tahun 1945-1950 dan tahun 1968-1978 menjiwai seluruh roman yang mencoba melihat revolusi Indonesia secara obyektif bahkan cenderung lebih dari sisi Belanda. Novel ini juga berusaha menggambarkan sisi-sisi kemanusiaan dari pribadi-pribadi yang memiliki idealisme berbeda terutama dalam hubungannya dengan pengertian nasionalisme pada konteks Indonesia saat itu.
“Burung Burung Manyar” adalah karya Y.B. Mangunwijaya atau banyak yang menyebut sebagai Romo Mangun. Roman ini terbit tahun l981. Banyak yang menyebut roman ini sebagai roman yang sarat dengan pengungkapan sejarah perjalanan nusantara sampai pada orde baru.

Roman ini bisa dikatagorikan sejarah karena menyingkap tiga kurun waktu perjalanan sejarah Republik Indonesia. Dimulai dari bagian pertama, dari periode l934-l944; yang menceritakan tokoh Setadewa yang lahir pada saat Indonesia dijajah Belanda. Selain tokoh Setadewa, Roma Mangun juga menampilkan tokoh yang mengiringi perjalanan Setadewa –meski berseberangan– hingga di akhir cerita, yakni tokoh penting bernama Larasati.

Kemudian dilanjutkan pada bagian kedua, dimulai periode l945-l950; yang melukiskan saat Indonesia dijajah Jepang, diceritakan tokoh Setadewa lebih memilih dijajah Belanda daripada Jepang. Romo Mangun mencoba meng-antagoniskan tokoh Setadewa dengan Larasati. Setadewa yang dalam masa penjajahan Belanda lebih memilih menjadi anthek Belanda dengan memilih menjadi tentara NICA. Sementara Larasati lebih memilih kemerdekaan Indonesia, dan berjuang di pihak gerakan Indonesia. Bertolak belakang dan berseberangan. Sedangkan pada bagian ketiga atau pada bagian pungkasan, yakni periode l968-l978, dikisahkan oleh Mangun wijaya situasi Indonesia pada jaman pemerintahan Orde Baru yang sangat lain situasinya dengan periode-periode sebelumnya. Pada bagian ketiga inilah dilukiskan konsep berfikir dua tokoh yang berseberangan yakni antara Larasati dengan Setadewa. Meski kedua tokoh yang tersebut di atas sebenarnya saling mencintai tetapi tidak dapat bersatu dalam perkawinan karena bertentangan dan sangat berlawanan.
Dalam penulisan ini tidak akan mengungkap secara gamblang bagaimana cerita maupun kupasan mendalam mengenai perjalanan roman yang dimulai dari pertama hingga periode ketiga. Akan tetapi penulis mencoba menganalisa sudut terkecil dari kehidupan tokoh-tokoh yang ada dalam roman “Burung Burung Manyar” karya Romo Mangun.
Roman ini secara realitas bisa mengungkapkan mengenai banyak hal kehidupan dalam perjalanan dari awal hingga periode ketiga. Banyak hal yang diungkap; mulai kehidupan batin hidup zaman Jepang–termasuk didalamnya keadaan tak menentu zaman Jepang. Kemudian mengungkap juga moralitas kaum pejuang Republik Indonesia, dan yang akan dikupas dalam analisis kali ini berupa kehidupan batin orang yang hidup sebagai gundik orang-orang Jepang.

Gundik
Gundik, banyak yang menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Artinya, perempuan ini hanya sebagai the second women atau istilah yang fenomental sekarang disebut dengan Wanita Idalam lain (WIL) setelah ada istri utama.
Kalau raja-raja Jawa dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Ada semacam perasaan tabu manakala seorang raja hanya mempunyai satu istri utama. Kenapa? Karena ada pemahaman yang dinamakan ‘lanang temenan’ kalau sudah bisa mempunyai Turonggo–simbol laki-laki–sudah bisa mencapai tahta dan mempunyai banyak wanita.

Maka untuk kalangan raja-raja jaman dulu sudah bukan hal yang tabu kalau mempunyai perempuan sampai lebih dari tiga. Inilah yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan melanggengkan kerajaannya.
Bahkan cerita-cerita dari India Utara pun dalam tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna mempunyai lebih dari satu istri, mulai dari Wara Srikandhi, Gandawati, Dewi Ulupi, Dyah Manuhara dan Sembodro.

Adanya laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.
Bahkan beberapa waktu yang lalu di Sumatra akibat ulah seorang datuk–banyak yang menyebut sebagai Datuk Maringgih–42 perempuan meninggal hanya sebagai tumbal kesaktian ilmu hitam (murder magic). Itu semua merupakan ilustrasi ketidakberdayaan menghadapi superior laki-laki.

Pembangkangan Terselubung
Dalam roman “Burung-burung Manyar” karya Romo Mangun diilustrasikan bagaimana terjepitnya posisi perempuan saat menghadapi para tentara Jepang waktu itu. Bagaimana Romo Mangun menceritakan liciknya perwira-perwira Jepang menawan wanita istri tentara Belanda yang berhasil ditangkap Jepang. Lihat kutipan di bawah ini:
“Suami tante Pauline (dulu) sersan KNIL Totok yang ditawan di Burma. Dan kini tante Pauline menyambung hidupnya dengan cara menjadi gundik perwira Jepang itu. Saya jijik melihat Tante Pauline, yang sebetulnya tergolong perempuan manis juga … (BBM: 26).

Ilustrasi di atas, kiranya tidak hanya wanita Jawa saja yang mengenal adanya gundik. Seperti halnya tulisan di atas, tante Pauline yang sebelumnya sebagai istri sersan KNIL-Belanda, akibat masuknya Jepang di Indonesia, maka wanita Belanda pun menjadi korban menjadi gundik para perwira Jepang.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan saat itu wanita harus menjalani kehidupannya sebagai gundik. Paling tidak dalam alam kehidupan Burung Burung Manyar. Pertama, seseorang (wanita) ingin hidup layak pada zaman yang sulit, dan demi menyambung hidup. Kemudian yang kedua, karena kesetiaan pada suami atau saudaranya agar tidak dibunuh oleh para perwira Jepang maka dengan keterpaksaan mereka memilih menjadi gundik Jepang. Seperti digambarkan oleh tokoh Marice (ibu Teto).

“Pokoknya mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpetai yang berwewenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang terakhir. Dan mami tidak mau segala kenyataan dirinya ditutup-tutupi. Setadewa anaknya harus tahu segala-galanya beserta mengapanya. Disertai cium cinta seorang ibu dan permintaan doa … serta maaf … (BBM: 34).

Dari kutipan di atas tampak pada zaman itu memang nyata ada kehidupan wanita-wanita yang dijadikan gundik Jepang. Seorang wanita sampai menjadi gundik tentara Jepang, secara naluri sebenarnya tidak menginginkan akan perbuatan untuk menjadi gundik. Hanya karena keterpakasaan semua itu dijalani.

Ini sama dengan konsep Jawa yang “Inggih-inggih ora kepanggih” atau pembangkangan terselubung oleh wanita saat menjadi gundik perwira Jepang. Faktor keluarga merupakan hal yang penting untuk diselamatkan meski harus menjadi gundik yang notabene secara emosi nalurinya mengatakan tidak menginginkan. Karena posisi yang lemah dan ditambah ultimatum menjadikan lebih terjepitlah posisi wanita. Meski dalam hatinya–dalam konsep Jawa–mengatakan semua yang dijalaninya untuk menuruti kemauan perwira Belanda itu hanya sekedar ucapan Inggih-inggih ora kepanggih tadi.

Burung-Burung Manyar & Pergeseran Kekuasaan
Burung-Burung Manyar. Roman yang menceritakan Setadewa alias Teto dari zaman penjajahan Jepang hingga masa awal-awal Indonesia merdeka, sampai masa pembangunan. Bagian yang paling menarik adalah bagian III, bab 18, “Aula Hikmah”, saat Atik sedang menjalani sidang doktoralnya. Atik, kekasih lama dan sejati Teto (protagonista pria, anak Indo yang membela Belanda, membenci jepang, dan sebenarnya masih mencintai Indonesia) dalam sidangnya itu menjelaskan tentang burung manyar (dengan perubahan ):…perilaku yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki. Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan, mereka mulai membangun sarang, yang sangat rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. Manyar-manyar putri hanya melihat saja dengan enak-enak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan manyar-manyar lelaki.

Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu menaksir hasil pembangunan para jantn itu, mempertimbangkan sejenak, dan memilih yang…berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih. Alangkah sedihnya yang tak dipilih.

Apa yang dilakukan manyar lelaki yang sial sekali tak dipilih itu? Catat: mereka frustasi, mereka membongkar menghancurkan sarang yang tadi dibangun susah payah, hingga berkeping-keping di tanah. Dramatis dan tragis.

Setelah itu? Manyar-manyar lelaki selesai berputus asa, bangkit mengumpulkan alang-alang lagi, membangun sarang indah kembali dengan sebuah harapan yang bangkit hidup: semoga kali ini ada putri yang memilihnya…

Dimanapun dalam level kehidupan manapun: women rules! Para lelaki, mengajukan diri, toh akhirnya yang berkuasa adalah tuan putri. Tapi benarkah yang berkuasa hanya tuan putri saja? Saya membayangkan burung manyar lagi, saat manyar perempuan telah memilih sarang pejantannya. Kira-kira apa yang akan terjadi ya? Perkiraan saya (semoga ada ahli burung yang dapat mengkonfirmasi) seperti ini: Manyar lelaki akan merasa bahagia, sekaligus menerima kekuasaan dari manyar putri. Sekarang, ia yang berkuasa, karena ia yang membangun rumah perlindungan tempat dimana manyar putri mengharap perlindungan.

Kapan manyar putri berkuasa lagi? Saat mereka harus bertelur. Hanya manyar putri, yang secara tak sadar dan alamiah, menentukan bisa bertelur atau tidak. Itu kekuasaan alamiah dan tanpa sadar, yang ditentukan oleh ‘rahim’ si manyar putri.

Hubungan kekuasaan ini terus berlanjut, secara adil, saling mengisi, dan akhirnya…harmonis. Allah telah menciptakan alam ini dengan perhitungan, dengan adil. Mungkin itu juga yang tersirat dalam fenomena ini: ketika pria dan wanita menikah, kebanyakan nama-nama yang menikah disebut dengan urutan nama mempelai wanita-nama mempelai pria.

Namun, karena rumah (rumah tangga?) yang digunakan para putri tetaplah milik para jantan, maka “Ar-Rijaalu qawwamunna alan Nisaa”, laki-laki adalah qawwam perempuan. Qawwam bukanlah penguasa, apalagi tiran yang dapat berbuat seenaknya kepada para perempuan. Bukan pula sejenis pemimpin zalim. Ia adalah “yang menegakkan”, yang melindungi. Para pembuat dan pemilik sarang…

Dalam roman ini pula, Romo Mangun secara tidak langsung melukiskan rentetan peristiwa kesejarahan di Tanah Air. BBM terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Pertama, kurun warsa 1933-1944, rangkaian waktu di mana para pejuang kita kala itu gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Belanda ke tangan Jepang—terutama pada masa kependudukan Jepang, di mana banyak perempuan menjadi budak seks serdadu Jepang.

Kedua, warsa 1945-1950, ketika bangsa Indonesia telah merengkuh ‘kemerdekaan’. Dan ketiga, warsa 1968, masa ketika Orde Baru berkuasa. Karena pernah mengalami ketiga zaman itu, sangat wajar jika Romo Mangun begitu piawai menuliskannya.

Dalam roman ini kita juga dapat melihat bagaimana perilaku manusia Indonesia pada setiap kurun waktu. Ada yang membela Jepang, ada yang memilih merdeka seperti halnya yang diinginkan oleh Atik, atau ada juga yang membela Belanda dan menjadi serdadu Nica. Meski saling mencintai, Setadewa dan Larasati tetap teguh dengan pilihan masing-masing, sembari tetap menghormati pilihan ‘lawannya’ meski dalam hati kecil mereka, keduanya ingin agar mereka bisa sejalan.

Dalam novel ini menandakan manusia harus berpegang teguh terhadap pendirian masing-masing juga menghormati pilihan orang lain walaupun dalam suatu ikatan yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar